“Kenalilah dirimu sendiri” persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Socrates dengan pemikiran pra-Socrates. Socrates tak pernah menyerang atau mengkritik teori-teori para pendahulunya. Apakah manusia? Socrates selalu membela dan mempertahankan cita-cita mengenai kebenaran yang objektif, absolut, dan universal. Kebenaran hanya mampu dipahami melalui aksi sosial. Namun baik Socrates dengan Marcus Aurelius percaya bahwa untuk menemukan kodrat dan hakikat manusia kita pertama-tama harus menyisihkan sifat-sifat yang insidental dan eksternal.
Semua hal yang “ditambahkan dari luar” kepada manusia adalah kosong, adalah hampa. Hakikat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, kemashyuran bahkan kesehatan atau kepandaian—semua hal ini tidak pokok (adiaphoron). Dalam filsafat Stoa tuntutan untuk mengenali diri sebagai mana dalam persepsi Socrates, merupakan keistimewaan dan kewajiban dasar manusia. Manusia membutuhkan kemampuan kritis, daya pertimbangan, ketajaman berpikirnya dirilah (Self) bukannya Alam Semesta (Universe). Daya pertimbangan dalah kemampuan sentral manusia,sumber bagi kebenaran dan moralitas. Manusia menemukan dirinya dalam keseimbangan sempurna dengan alam; dan ia tahu bahwa keseimbangan tak boleh digoyahkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Seperti itulah karakter ganda dari ataraxia.
Begitulah hal-hal yang diangkat oleh Kumpulan Lakon Tubuh di Pukul 11 karya Adnan Guntur yang berisi 5 Lakon. Mungkin bahwa sekadar dunia bukan hanya tentang praduga nyata namun juga praduga-praduga yang membentuk manusia dari dalam maupun dari luar. Keefektifan inilah yang menjadikannya semangat membentuk pandangan namun juga cermin dunia paralel.