perpustakaan s. jai1
b IMG_20231218_115732
koreksi slide 2024
previous arrow
next arrow

Tanha—Kekasih  yang Terlupa (Jogja Media Utama 2011, Pagan Press,2017);

Menafsirkan kembali mitos dalam Cerita Panji. Sekaligus menggali nilai-nilai Budhisme. Tantra, Mantra, Sastra maka sebetulnya novel ini berbicara spirit yang lebih esensial, teologis sekaligus filosofis, utamanya ajaran Tantra dalam spirit Budhisme maupun Hinduisme. Termasuk mempertanyakan lebih jauh lagi, bahwa sisi gelap perihal masuknya Islam di tanah Jawa.

Tanah Api (LKiS 2005); 

Tentang tokoh ide. Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi ”bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh.”

Kumara— Hikayat Sang Kekasih (Pemenang Sayembara Novel Etnografis Dewan Kesenian Jawa Timur 2012)

Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Semacam pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan (abangan) yang sadar betul bagaimana berharganya mempertahankan hidup.

Pada novel ini saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut.  Melainkan, saya bercerita dan saya memulainya dengan bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi diri yang mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya. Kumara ditulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia.

GURAH—Tak Sempat Dikubur

Karnaval Spiritualitas yang aneh.  Novel saya ini bertutur kisah tentang perjalanan hidup seorang anak yang merasa dirinya idiot oleh karena trauma melihat ayahnya korban penembakan misterius tahun 1980-an. Perjuangannya menemukan kepercayaan diri kembali, menyebabkan ia harus menjadi saksi perjalanan kelam sejarah bangsa. Ia menyaksikan sekian banyak kekejaman orde baru.  Semangat hidup dan cinta menyelamatkan jiwa lelaki itu dari penderitaan batin berkepanjangan. Ilmu dan percintaan dengan seorang gadis putri seorang professor bedah plastik yang korban perkosaan, membuat tokoh utama novel ini menemukan arti cinta, hidup dan kehidupan. Berlatar pembredelan tiga media besar tahun 1994. Spiritualitas tokoh-tokoh novel ini amat aneh, pada agama ilmu pengetahuan juga realitas hidup sehari-hari. Tokoh utama (Biru Langit) mendapat inspirasi dari surat seorang atheis.  Pertemuannya dengan Professor bedah plastik yang keblinger pada ilmu politik melengkapi argumen-argumennya tentang cinta.  Mereka hanya berjalan sendiri-sendiri saling membersihkan diri. Tapi cinta adalah segalanya bagi Biru Langit dengan pelbagai pahit getir, ambisi, gairah, ingatan, luka, muslihat, bahkan petaka. Ketika ia dipenjara, ia mengagumi puisi dan fiksi untuk mewakili birahi kepada kekasihnya, Sulistyorini.

SIRRI dan Kisah Cinta Lainnya

Tentang cinta. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia.  Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.  Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.  Mungkin semacam molekul, partikel, atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tarik-menarik tanpa henti.  Mengarang bagi saya adalah  menipu diri sendiri.  Saya harus menipu diri untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan saya selanjutnya, kebingungan saya berikutnya.  Kedengarannya memang naïf, dan gila.  Saya harus gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera Bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang.

Upa Jiwa, Hikayat Perjalanan ke Belakang (2017).

Pasir dan Buih adalah salah satu karyanya yang mengilhami terbitnya buku ini. Menjadi penyair—menulis puisi—bagi saya suatu obsesi. Sebagai obsesi, saya lebih menyakini menulis syair adalah semacam utopia, meski bukan hal yang mustahil. Saya sudah telanjur menyakini “yang abadi adalah peristiwa, dan itulah sebabnya saya menulis cerita.”  Pendeknya, jika pun kemudian saya menulis puisi—atau tepatnya menganggit semacam puisi—maka hal itu senantiasa bermula dari peristiwa.

Pada mulanya saya hendak menulis sebuah novel tentang cinta—tepatnya kisah cinta antara dua sejoli yang remaja. Meski peristiwa-peristiwa juga beban psikologis calon tokoh-tokohnya yang berkumpar di benak saya, namun yang datang pada saya bukanlah barisan kalimat-kalimat. Yang datang pada saya adalah kata. Makin banyak kata-kata yang menghampiri saya, minta perhatian saya, bahkan menteror saya. Lebih dari itu, kecintaan saya terhadap kata dalam hal ini yang kerap kudekati dengan kasih sayang agar tersusun menjadi prosa, secara perlahan dan tekun, kata itu berbalik mencintai saya apa adanya. Saya cukup menderita dalam keberadaan dan posisi saya seperti ini.  Walaupun saya yakin penderitaan yang lebih gawat sudah dialami terlebih dulu oleh seorang penyair yang mumpuni: penderitaan karena dicintai oleh kata. 

Ngrong, (Pagan Press 2019)

“Aku hanyalah seorang pengarang yang sebenar-benarnya pengarang. Bukan pengarang murahan. Bahwa kebebasanku, pembebasanku sebatas seorang pengarang menangkap tamsilan-tamsilan. Aku hanyalah pencipta keanehan-keanehan atasnya, dan bila terlampau dekat dan hampir larut bahkan selepas menyetubuhinya pun, aku kosong aku meniadakan diriku, mengasingkan diriku kembali. Aku teringat kata orang bijak, bahwa ini hanyalah soal kekosongan. Jika keluasan semesta ini hanyalah tempatnya orang salat , maka salatnya orang bercinta dengan meniadakan diri, salatnya  orang taat dengan duduk dan sujud”. Jadi ini hanyalah perihal kekosongan dan pengosongan. Keasingan dan pengasingan.

Aku adalah keadaan dan suasana. Hidup bukanlah dramatik tapi epik, demikian kata guruku—Brecht. Hidup ini bukan kutukan. Hidup ini proses bukan cerita. Hidup ini digerakkan oleh perubahan. Dan yang abadi bukan hidup melainkan perubahan. Aku menyakini ini sebagai suatu kesadaran dan bukan sebagai suatu dogma—apalagi moral yang kucari pembenarannya dalam agama. Siapapun boleh tak bersetuju dengan keyakinan dan kesadaranku yang demikian. Katakanlah ini sebagai alat pertahanan diriku bahwa kesadaranku adalah keadaanku.

Antara usaha mengasingkan diriku dari diriku yang lain. Antara diriku yang lazim menjadi diriku yang tak biasanya. Oleh karena inilah salah satu alasan menuliskan tokoh dalam sebuah novel yang bukan cerita tepat pada saat betapa sulit sekarang menemukan tokoh agar dibaca dan dikagumi anak-anak kita.

Maka tiada lain jalan selain menjadikan diriku dan diriku yang lain—tepatnya  suasana-suasana diriku dan diriku yang lainlah—tokoh dalam adegan-adegan ini sebagai suatu percobaan-percobaan. Percobaan sebagai apa? Percobaan untuk membebaskan diri. Membebaskan diri dari apa? Dari kuasa keadaan. Karena keadaanlah sesungguhnya tokoh utama drama yang kulakoni.

Khutbah di Bawah Lembah, (Najah-Diva Press 2012)

Novel ini hasil riset saya di Kediri terkait dengan kehidupan buruh pabrik rokok. Sekaligus pandangan dan sikap saya melalui sastra terhadap kampanye anti rokok. Sebuah novel yang mengangkat moralitas masyarakat modern, industry dan birokras yang menggerogoti kehidupan sebuah keluarga. Saya menyampaikannya melalui pembacaan cerita rakyat Rara Mendut dalam bentuk dan struktur dramatik pertunjukan teater.

Tirai (Garudhawaca, 2014) 

Novel ini saya tulis berdasarkan wawancara dengan seorang psikolog di Rumah Sakit Jiwa Lawang. Memuat sejumlah kasus ilmiah maupun sosial yang dari sudut pandang sang psikolog Rumah Sakit Jiwa. Termasuk di dalamnya, memuat dirinya yang terus menghadapi kasus-kasus kejiwaan,  berdampak pada kecurigaan dirinya yang diam-diam ia telah membunuh perasaannya untuk kasihan pada orang lain. Ia sadar itu dan segera tak ingin kehilangan bagian penting dari hidupnya—perasaannya.  Pertarungan ini tentu saja terjadi dalam diri sang psikolog. Betapa tipis tirai itu, yang juga meragukan dirinya sendiri apakah sebetulnya dirinya seseorang mengalami gangguan jiwa ataukah tidak. Terkadang ia hanya merasa hidup di ruang yang keliru, tanpa tahu mana yang benar. Dia hanya tahu bahwa hidup musti diteruskan. Da sering kembali menikmati perasaan sedih yang terus menerus, yang lalu menyusul menciptakan bayang-bayang, merangkai kisah menyusun cerita menghadirkan orang-orang yang ada di kepalanya, hingga terpukau,  walaupun sebenarnya tidak ada rangkaian kejadian itu di alam nyata. Kisah yang dialami tokoh-tokoh di atas, ternyata hanyalah rangkaian bayang-bayang yang ada di benak psikolog itu. Filem ini meneroka emosi dan moral manusia.

Buku Postmitos: Esai-Esai S. Jai memamerkan keluasan dan kedalaman wawasan dan pengetahuan kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan penulisnya. Penulis senantiasa mengupas atau menelaah isu-isu kesusastraan ditelaah dengan bingkai kesenian dan kebudayaan sehingga buku ini memperlihatkan bentangan luas dalam persoalan kesusastraan-kesusastraan tak dipandang secara mikro-literer, melainkan juga secara makro-kultural. Buku ini juga menggambarkan ketekunan, kerajinan, dan kecekatan penulisnya sebagai pencatat, pengamat, pengulas, dan penimbang karya sastra dan peristiwa sastra dalam berbagai satuan waktu dan tempat termasuk karya sastra dan peristiwa sastra yang berlangsung di Jawa Timur. Demikian banyak dan beraneka ragam karya sastra dan peristiwa sastra yang dicatat, diamati, dan diulas oleh penulisnya, yang mengimplikasikan betapa panjang nafas dan kuat daya kerja sang penulis.

Selain itu buku setebal 550 halaman lebih ini juga memperlihatkan daya refleksi yang kuat dan daya kritis yang tajam dari penulisnya terhadap pelbagai persoalan kesusastraan beserta jalin-kelindannya dengan kesenian dan kebudayaan. Penulis berhasil merontgen dengan cermat dan mendasar berbagai persoalan actual dan empiris seputar sastra dalam kaitannya dengan film, pertunjukan, buku dan budaya simbolis sehingga analisis dan atau refleksinya terhindar dari kesan klise dan monoton.

Demikian juga secara kritis penulis membuat perhitungan-perhitungan literer, estetis, dan cultural atas berbagai peristiwa dan gejala kesusastraan dalam bingkai konseptual dan teoritis tertentu, untuk kemudian menawarkan dan menyodorkan pikiran atau gagasan tertentu sebagai implikasi. Misalnya dengan berani dan kritis penulis menggugat kualitas kebudayaan kita disamping mempertimbangkan mitos, dan selanjutnya menawarkan gagasan atau pikiran pascamitos termasuk di dalamnya estetika sastra pascamitos. Baginya tradisi dan kebudayaan tak hanya perlu diafirmasi dan dilindungi, tetapi juga ditimbang kembali dan dikritisi, bahkan ditranformasikan agar kemajuan kesusastraan dan kebudayaan dapat dicapai.

Juri Anugerah Sutasoma 2019

Cerpen-cerpen dalam buku ini saya tulis dalam situasi, keadaan, pandangan dan bahkan pernyataan estetis atau kredo yang berbeda. Sehingga terkadang saya sendiri sulit menerima betapa cerpen-cerpen itu saya tulis dalam situasi kematangan jiwa yang tak sama walaupun saya sendiri tidak sepenuhnya memiliki keberanian mengklaim apakah dari satu cerpen di masa lalu dengan cerpen lain di masa berikutnya mengandung arti lebih matang proses kreatifnya.

Semisal di suatu massa, saya menekuni dan menyakini suatu mazhab yang dalam kosa kata sastra kita; pemujaan pada katarsis, lantas pada masa lainnya masa itu adalah masa lalu dari dramatik, epik, atau montase solilokui. Dengan kata lain; pada satu sisi cerpen-cerpen yang taat bersikeras membetot sisi kemanusiaan dan empati pembaca, pada sisi lain misalnya, meneguhkan diri ke dalam suatu usaha menggerakkan ke arah kesadaran-penyadaran dalam keanehan-keanehan, pengasingan-pengasingan, suasana-suasana yang lebih penting ketimbang ideologi-ideologi besar dalam sastra tempat kerinduan akan kebahagiaan dan kebebasan disandarkannya.

Dalam keruwetan-keruwetan itulah buku kumpulan cerpen ini diketengahkan. Saya mencoba menekan kebingungan-kebingungan saya dengan menawarkan semacam strategi. Cerpen-cerpen itu saya tampilkan dalam banyak keragaman; ada yang dari sejumlah media yang cukup jauh di masa puluhan atau belasan tahun lalu, kemudian dari kliping koran yang belum cukup lama pemuatannya, termasuk juga cerpen-cerpen yang sama sekali belum pernah dipublikasikan. Serta tentunya saya sertakan pula cerpen-cerpen terbaru saya, yang dengan harapan bisa terbaca kecenderungan-kecenderungan atau pencapaian estetis saya.

Catatan-catatan dalam buku ini adalah bukan hanya lakonku, pertunjukanku, tetapi juga akulah yang telah menjadi lakon dalam sebuah kisah, perjalananku, laku hidupku. Bukankah lakon telah berkembang pengertiannya menjadi sang tokoh utama? Maka sesungguhnya kumaksudkan buku ini adalah sebagai Lakon Matahati–dialah yang tak pernah keliru melihat kenyataan. Kisah tentang seorang pecinta pada kekasihnya. Hikayat perihal seorang penakik imaji pohon keindahan.

Buku ini memperlihatkan upaya penulis meneguhkan, karya sastra (juga karya seni lainnya) dianggit dari proses kerja kreatif dan bukan buah bualan enganggur. Sastra dan seni lainnya adalah ilmu pengetahuan. Sebagai karya kreatif, dia bisa dijelaskan kondisi dan kodrat keberadaannya. Bahwa sebagai fakta semiotik memiliki eksistensi ganda yakni dunia penginderaannya dan kesadaran pemaknaannya–kebahasaan, kebudayaan, kesastraan. Penulis buku ini menyingkap dari sisi sosok kesadaran individualnya, di samping tentu saja adanya anggapan bahwa subjek penciptaan sebenarnya adalah kesadaran kolektif, masyarakat.*