Seiring berjalannya waktu, selalu membuat orang ingin mengenang perjalanan, jejak dan langkah karya-karyanya. Bagaimanapun bentuk dan rupanya, yang pernah ia kandung dan lahirkan, dengan segenap cinta dan pencapaiannya.
Buku ini semacam “catatan” perjalanan penulis, di sela-sela kesibukan lainnya, karena pekerjaan yang sering berpindah-pindah hampir dua tahun sekali. Maka banyak kisah-kisah, atau tempat-tempat yang menjadi inspirasi dijadikan puisi. Tentu saja setelah melewati perenungan dan pemilihan kata yang menarik menurut penulis.
Tokoh dalam novel ini adalah seorang yang pernah terlibat langsung dalam perang kemerdekaan. Sikap patriotis sudah ditanamkan bapaknya, yang sejak kecil selalu menjejalinya dengan dongeng-dongeng yang menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. Tetapi nasib memang tak pernah bersahabat dengannya. Sepanjang umurnya, yang ditemui hanya kesia-siaan belaka. Kecintaan bayang-bayang semu tentang keberanian, harapan, dan cita-cita lewat tegaknya kemerdekaan di negerinya, ia gambarkan perasaan-perasaan itu lewat Merah Putih—dua warna yang baginya pun di kemudian hari tak punya kekuatan.
Melalui buku ini, penulis sedapat mungkin berusaha mengungkap aktualisasi identitas waria dan tanggapan dari penonton dalam ranah estetik. Betapa topik aktualisasi identitas waria sebagai titik sentralnya adalah berdasarkan anggapan bahwa; pemain waria selama ini dipandang hanya menjadi bagian dari sebuah pertunjukan Ludruk, tanpa dilihat dengan sungguh-sungguh peran mereka dalam proses pencarian jati diri untuk menunjukkan identitasnya. Patutlah kita mengkaji untuk memperkaya khazanah informasi dan ilmu pengetahuan tentang kaum waria.