Seorang penulis kritik seni pada dasarnya adalah seorang yang berusaha menggali persoalan atas gejala seni yang diamatinya, lantas dia berusaha menggali data-data pendukungnya, dan kemudian dia berusaha keras mencari titik persoalan yang dianggapnya menarik. Untuk itu, seorang kritikus kemudian berusaha mereduksi banyak hal yang dianggap kurang menarik. Proses reduksi inilah yang sebenarnya bisa dipahami sebagai proses seleksi atas informasi  yang melingkungi gejala seni tersebut. Dalam proses seleksi inilah, tidak bisa dihindari yaitu pengetahuan dan pengalaman seni yang dimiliki kritikus, baik disadari ataupun tidak selalu ikut campur. Di titik inilah, pilihannya adalah kritikus akan bersikap relatif  moderat dalam hal keputusan kritik (judgment) atau mengambil posisi berseberangan (anti tesis) sekalipun.

Dalam buku ini juga di uraikan wacana-wacana kekaryaan dari setiap kelompok seni rupa yang berusaha go internasional dengan mengusung konsep kelokan, apakah upaya itu akan berhasil  tentu tergantung pada bagaimana sebuah kelompok mempunyai program yang teragendakan dengan baik. Pengamatan penulis saat itu hanya sebagai upaya agar para penggiat seni rupa tercatat dalam sejarah seni rupa. Mereka para perupa yang bergerak hingga sampai saat inilah yang akan memberikan sumbangan pada wacana seni rupa di kota Surabaya dan sekitarnya. Semoga buku ajar ini bisa menjadi salah satu pegangan untuk memberikan tentang dinamika seni rupa dari perspektif sosiologi seni.

Buku ini adalah catatan pribadi saya atas suatu peristiwa kesenian. Atau ‘sesuatu butiran’ dari percikan, lintasan pikiran saya terhadap permasalahan yang mungkin memperlihatkan minat saya dari waktu ke waktu—meski tak bermaksud membuat tulisan dan materi sejarah kesenian atau kebudayaan. Dengan kata lain buku ini semacam catatan kebudayaan oleh karena lebih meruang—menciptakan, mencari, mengekplorasi ruang—ketimbang menegaskan kepastian kronologis kausalitas waktunya. Sebagai suatu catatan, kepingan-kepingan yang berserakan, bukan saja tersebab ada banyak ragam lembar-lembar berbagai masalah yang digelorakan. Melainkan, juga tak jarang diantaranya tampak seperti sketsa-sketsa yang ‘belum selesai.’ Keping-keping catatan ini saya pungut dari pelbagai jejak; media sosial, blog pribadi, situs web, termasuk sudah barangtentu dari kliping koran. Sebagian diantaranya catatan-catatan saya ini memang saya kirimkan ke koran dan tayang. Sebagian lainnya berupa makalah, materi pengantar diskusi, serta catatan harian saya. 

Tokoh dalam novel ini adalah seorang yang pernah terlibat langsung dalam perang kemerdekaan. Sikap patriotis sudah ditanamkan bapaknya, yang sejak kecil selalu menjejalinya dengan dongeng-dongeng yang menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air.  Tetapi nasib memang tak pernah bersahabat dengannya. Sepanjang umurnya, yang ditemui hanya kesia-siaan belaka. Kecintaan bayang-bayang semu tentang keberanian, harapan, dan cita-cita lewat tegaknya kemerdekaan di negerinya, ia gambarkan perasaan-perasaan itu lewat Merah Putih—dua warna yang baginya pun di kemudian hari tak punya kekuatan.

 

Sebuah novel percobaan dalam mengoplos ide–khususnya perihal tokoh/aktor dalam teater penyadaran Bertolt Brecht ke dalam sastra. Novel yang masih menyakini betapa gagasan baru baik dalam teater maupun sastra masih berpusar dan berkumpar pada perihal gagasan tokoh. Sejarah teater dan sastra memperlihatkan hal demikian, dengan puncak mahapenting dari pencapaian epik dan efek pengasingan Brecht. Pun NGRONG dimulai dengan satu pertanyaan; bagaimana dalam novel?   Entah mengapa, pertanyaan yang bermula dalam bahasa dramatik dan bahasa prosaic pun terus berhumbalang dan NGRONG adalah suatu pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, dan bukan sebuah jawaban. NGRONG menolak setiap empati, emosi, pada tokoh-tokohnya, dan lebih banyak mengajak berpikir serta menggali keanehan-keanehan darinya. NGRONG adalah fiksi dan rekaan dalam arti yang sebenarnya. Boleh jadi keadaan dan suasanalah yang sebenarnya tokoh dalam novel ini

 

Saya terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya. Sudut pandang kumara saya gali dari sana.  Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi—salah satu putra Dewa Siwa.  Novel ini bertutur kisah tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa—tepatnya di sebuah dusun di Kediri—menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman.

Tari/teater lahir dari rahim primordial yang sama:  upacara, ritus, laku ritual.  Dalam tari upacara/teater upacara tiada penonton tiada pemain, semua adalah pemain semua adalah penonton.  Laku ritual diawali mantra/doa/zikir yang menimbulkan vibrasi, gelombang getar, baik suara, bunyi, maupun gerak, geletar, gemetar, gemertak.  Vibrasi dibayangkan menyentuh alam semesta yang bersama ber—mantra/doa/zikir.  Vibrasi berniat meraih Sang Pencipta. Selama masih ber-upacara, atawa apa pun sebutannya, teater/tari masih berdaya—berjaya.

 

Permainan gaya bahasanya juga variatif, membuat puisi hadir cukup memikat. Untaian kata-kata yang ada dalam puisi-puisi Manna sangat mengalir, beberapa puisinya ibarat alunan dendang musik yang multiinterpretatif. Puisi-puisi yang ditulis Manna ini juga tampak sangat kaya dengan metafora, yang membuat puisi menjadi lebih hidup dan tidak vulgar dalam menyampaikan pesan atau mengekspresikan ruh budaya. Bahkan, hampir dalam keseluruhan puisinya Manna dengan cekatan memainkan metafora itu secara proporsional, sehingga puisi terasa lebih bertenaga dan tentu menyembunyikan banyak makna. Tidak hanya metafora, puisi-puisinya juga diwarnai analogi-analogi yang mendukung, yang juga sama-sama berfungsi menghidupkan puisi, dan menjadikan puisi terasa estetis. (Prof. I.B. Putera Manuaba, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlngga)

Pertama kali drama satu babak dan layar hanya sekali naik sekali turun, dipentaskan para pelajar lulusan SMA Malang danYogya, berjudul Awal dan Mira karya Utuy T. Sontani. Ketika itu Rogojampi tidak memiliki tingkat SMP dan SMA. Drama sebabak karya Taufiq Ismail dipentaskan keliling Jawa Timur oleh grup Lumajang pimpinan Emil Sanosa. Dan secara rutin setiap Syawal di Idul Fitri hari ke 7 para pelajar yang sekolah di Yogya, anggotaTeater Muslim, berpentas dalam acara halal-bi-halal atau syawalan. Ngaji, sekolah, main layangan di kuburan, terkadang bersamaan Mbah Modin baca talqin di atas kubur baru, kedai buku, sandiwara radio, bioskop, pasar malam, pentas GNI, dan malam-malam Rogojampi—mampir dalam proses kreatif saya…..

Open chat
Tabik, sudah menghubungi kami. Silakan chat lebih lanjut