Penulis: M. Affan Fauzan

Penyunting: Baitiyah

Tebal: 99 Halaman

Ukuran: 10 x 14 cm

Penerbit: Pagan Press

ISBN:  978-623-6910-85-6

Harga:

Kesabaran adalah harta tak ternilai di zaman yang serba cepat saat ini. Era disrupsi, kata orang-orang. Dan puisi adalah ladang luas tak berbatas yang menyimpan harta karun tak ternilai itu. Siapa sabar dengan puisi niscaya kaya rayalah dia.

Berdasar kesadaran di atas saya menjelajahi 31 sajak gubahan kawan Affan Fauzan yang terkumpul dalam buku bertajuk “Kotak-kotak yang Lahir dari Musim Makam”. Sungguh penjelajahan yang penuh perjuangan di tengah godaan cerita Sambo dan kenaikan harga BBM.

Dalam puisi-puisi Affan saya menemukan sebuah kecenderungan gaya film-is atau mungkin pemanggungan teater. Rakitan kata diolah jadi semacam narasi yang bergerak di atas panggung. Ada aktor yang bergerak dalam latar peristiwa sejarah dan ditata secara pembabakan.

Puisi-puisi Affan bergerak secara ulang-alik antara sejarah yang dialami (pribadi) dengan sejarah yang dipelajari (historiografi). Nadanya romantis. Misalnya, kolonialisme yang bergerak seribu kilometer dari Anyer sampai Panarukan jadi sebuah perjuangan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Pun dalam larik-larik ini: bahkan sebelum 10 november/aku merasa menjadi pahlawan/bagi diriku sendiri//.

Uniknya lagi, puisi-puisi Affan menghadirkan sebuah pola epilog yang berulang. Dari 31 sajak dalam buku ini saya mencatat ada 13 sajak yang mengambil pola ini. 11 sajak memanfaatkan epilog sebagai sub judul, 3 sajak menggunakan epilog dalam judul, dan sejumlah sajak menempatkan diksi epilog dalam sebaran tubuhnya.

Pola tersebut seakan melumerkan jarak epilog dengan prolog. Fungsi keduanya jadi sama. Penutup sekaligus pembuka. Akhiran sekaligus awalan. Serupa siklus takdir [sejarah?] yang disimbolkan sebagai ular yang memamah ekornya sendiri.

Maka cukup tepat Affan menorehkan judul kumpulan ini: Kotak-kotak yang Lahir dari Musim Makam. Sebuah jejaring fragmentasi atas memori sejarah (yang) pribadi dan kolektif.

Selain itu, dalam puisi-puisi Affan ini saya juga menemukan adanya penggunaan kata ulang dalam dua bentuk: memakai tanda hubung dan tidak. Dua bentuk kata ulang ini membawa pembacaan berbeda. Kata ulang tanpa tanda hubung membuat sesuatu yang jamak menjadi hanya dua atau bahkan menjadi tunggal melalui fungsi penekanan/penyangatan.

Demikian sedikit laporan pembacaan dari saya.(*)

Judul Buku: Kotak-kotak yang Lahir dari Musim Makan, Kumpulan Puisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *