Buku puisi ”Sungai Sejati” yang ditulis penyair Eka Budianta wujud bertaburnya keindahan, sublimasi, dan ragam suara-suara sejak dari kesunyian paling gelap hingga bebunyian yang paling nyaring terdengar bagi pembaca.
PERASAAN takjub sekaligus ngeri yang terbit dari tafsir teks tertentu kerapkali dinilai melampaui keindahan. Bahkan tak jarang dipertentangkan: bahwa yang sublim—yang menerbitkan pukau, ekstase dan ketakjuban itu—berbeda dengan yang indah.
Perihal ‘kesubliman’ dan ‘keindahan’, telah sejak sebelum masehi (kurang lebih seabad sebelumnya) dikonsepkan Longinus. Subtansi keindahan menurutnya adalah cinta, perasaan-perasaan yang menyenangkan, sementara sublimasi bersumber dari ketakjuban, keterpanaan akan sejenis alam yang liar, belantara hutan, bentang langit, keluasan samudra.
Era paling mutakhir, tepatnya para pemikir pencerahan seperti Edmund Burke dan Imanuel Kant meneguhkan yang sublim maupun yang indah, sebagai; dimasa lampau bisa dicapai melalui teknik dan latihan, sementara dimasa kini hal itu sama sekali tak bisa dijelaskan asal-usulnya. Atau dalam bahasa kaum postmodernis; sesuatu yang tak dapat dikomunikasikan.
Oleh karena itu, menyambut terbitnya buku sastra apapun senantiasa merayakan keindahan, sublimasi sebagaimana menikmati dan menghikmati suatu karnawal—tepatnya karnaval keberagaman suara.
Buku puisi Sungai Sejati; Surabaya Zaman Omikron yang ditulis oleh penyair Eka Budianta adalah wujud bertaburnya keindahan, sublimasi, dan ragam suara-suara sejak dari kesunyian paling gelap hingga bebunyian yang paling nyaring terdengar bagi yang membacanya.
Bukan saja suara sang penyair yang menyuarakan kembali hasil dari tangkapan, pandangan dan pemahamannya tentang kenyataan atau pengalamannya, melainkan juga suara itu sendiri—puisi itu sendiri ketika ditinggalkan oleh sang penyair tatkala melibatkan diri kembali dalam perjumpaan dan pertemuan dengan pengalaman-pengalaman lainnya.
Seorang penyair—dalam bahasa Franz Kafka—adalah seorang yang ‘menemui’ dan ‘menemukan’ kata. Penyair tidak hanya menghitung jarak bahasa yang ditemuinya dengan konvensi yang sudah ada tetapi lebih dari itu menciptakan, menemukan yang baru bermula dari pencerapan indrawinya dan pengalaman puitiknya sendiri.
Dari Peristiwa ke Bunyi dan Imaji
Tersebab itulah, puisi senantiasa baru. Penyair terus ikhtiar menemukan pembaruan-pembaruan melampaui bahasa komunikasi. Puisi menjadikannya bahasa lebih privat, bersumber dari ingatan personal, juga otentisitas imaji, bunyi, dan peristiwanya (moment puitic) sendiri. Puisi juga terhubung dengan pengalaman estetis, persepsi indrawi, kognisi intelektual yang mengalir seiring temuan estetika penyair dan pelaku-pelaku seni di dalamnya. Pendeknya, pencarian dan pengetahuan sejarah estetika penyairnya.
Eka Budianta melalui buku ini adalah ‘sungai sejati’ yang mengalirkan “seribu doa dan seribu tugas baru, menunggu di sepanjang perjalanannya.”
Sungai sejati berteman rembulan,
Menyusuri hidup bersama matahari,
Dihadang banjir, bertahan dalam hujan
dan kemarau yang mengeringkan.
Sungai sejati mendapat seribu mimpi
Seribu doa dan seribu tugas baru
Menunggu di sepanjang perjalanannya.
(Sajak Sungai Sejati, Hal 47)
Pendek kata, buku puisi Sungai Sejati, memperlihatkan usaha penyair melukiskan ‘perjumpaan’ dan ‘penemuan’ itu sebagai pengalaman puitiknya, menyingkap otentisitas dari pengalaman kepenyairannya. Bahwa dialah pencipta realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas. Dialah yang memahami suatu pengalaman individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupan. Dia bukan yang melumpuhkan pengalaman kemanusiaan.
Betapa melalui buku ini, Eka Budianta mengalirkan estetika (keindahan dan sublimasi) sampai demikian jauh; absurditas, alam, kegelapan, lingkungan, cinta, kebahagiaan, perjalanan, sejarah, penderitaan, kematian, wabah, bencana, religiusitas, identitas diri, pengembaraan, eksistensi ada dan ketiadaaan, kenangan, kesunyian,kegilaan, cinta remaja, refleksi, cinta yang agung, sampai kematian pun ‘tidak menghentikan sajak ini.’
Telah begitu lama semua terjadi
Sampai kita lupa, siapa
Dan di mana sebenarnya kita.
Sampai kita tidak mengerti mengapa kematian
Tidak menghentikan sajak ini.
(Sajak National Express ke Selatan, Hal 28)
Walaupun puisi ibarat ‘tetes-tetes air pada permukaan batu di dalam gua’ namun sebagai yang berspirit ambiguitas dan kompleksitas, puisi sebenarnya bisa sekadar suara, bisa pula mempersoalkan apa saja, memparodikan, menggugat, atau main-main saja. Maka, puisi-puisi Eka Budianta terus mengalir sejak dari wilayah tubuh yang (dalam bahasa S. Takdir Alisyahbana) ‘perasaan yang berduyun-duyun keluar sendirinya tiada tertahan-tahan’ dalam sebentuk ekspresi fantasi alam romantik, menuju kesubliman atau keterpanaan melalui simulasi kengerian, kegelapan dan sejenisnya.
Pada bagian kesubliman yang demikian ini, puisi-puisi Eka Budianta sangat menarik untuk dilakukan pembacaan bagaimana suatu otentisitas poiesis penyair bekerja. Misal, bagaimana kegelapan adalah momen puitik dari ide tentang rasa takut, kengerian, kesunyian, dan tentu saja kematian.
Dengan kata lain bertaut erat atas perangkat kesadaran eksistensial—kecemasan (penderitaan) semisal dalam situasi bencana wabah corona, yang memberi makna hidup bahwa ke-ada-an manusia itu bersama-sama keberadaannya dengan ke-tidakada-annya. Seorang pengelana, pengembara sebagaimana kata Eka Budianta ‘tinggal kau dan aku abadi mengembara’ tak lain adalah dia yang sejati melakoni menjadi aliran sungai di dunia ini. Betapa hidup, kebahagiaan, dan kematian (rohani) manusia itu inhern, dan yang ditentukannya sendiri olehnya.
Corona datang bagai mendung hitam,
Kamu dan aku mencari sinar di tepinya
Mungkin dapat emas, perak, atau platina
Yang memberikan bekal kebijaksanaan.
Mungkin juga tidak dapat apa-apa,
Sekiranya tak ada lagi surga dan neraka
Tinggal kau dan aku abadi mengembara.
(Sajak Corona dan Bumi Datar, Hal 55)
Menjadi penyair pun, sebagaimana dalam kosakata absurditas Albert Camus: kebahagiaan yang tragis–hadapi tanpa pernah menyerah; yang dalam sajak Eka Budianta tersurat ‘sampai kita tidak mengerti mengapa kematian tidak menghentikan sajak ini.’
Pembagian buku ini ke dalam dua kumpulan serta satu refleksi, bisa pula ditafsirkan secara demikian; sebagai semacam kesinambungan sejarah estetika keindahan dan sublimasi (katakanlah dari Longinus ke Edmund Burke, dari ketakjuban berlanjut kengerian). Terlebih, yang musti diakui puisi-puisi Eka Budianta dalam buku ini memang terbentang dalam jarak waktu yang cukup panjang. Kumpulan Pertama dalam buku ini sebelumnya pernah diterbitkan secara terbatas oleh Prodi Sastra Indonesia Fisip Unair bekerja sama Dewan Kesenian Surabaya, tahun 1990-an di bawah judul Aku dan Surabaya.
Sementara Kumpulan Kedua, sebelum ditutup refleksi dari sang penyair, dapat dikatakan adalah puisi-puisi Eka Budianta yang terbaru rentang penulisan tahun 2016-2022. Meski demikian, pembacaan sejarah estetika keindahan dan sublimasi dalam sajak-sajak Eka Budianta tak semata-mata terwakili oleh pengelompokan dua kumpulan. Hal ini mengingat, pada kenyataanya Eka Budianta juga menulis sajak-sajak yang katakanlah ‘religious’ yang di ranah seni sastra utamanya puisi lebih mendekati sublimasi sajak ‘sufistik’ ketimbang definisi-definisi kesubliman sebelumnya. Misal, ketika membincang keabadian. Memang agak konseptual dan bahkan tak dapat dikomunikasikan, oleh karena sebagaimana kata Lyotard menggunakan perspektif yang tak terbatas—sub specie aeternitatis.
Antara Absurditas dan Religiusitas
Dapat dikatakan, di hadapan puisi yang ditulis penyair yang tanpa menyerah, buku ini menampilkan kejujuran-kejujuran proses ‘menemui’ dan ‘menemukan’ kata dalam mencipta bahasa puitiknya. Puisi adalah citra pikiran penyairnya. Baik citraan dari pikiran yang pasif maupun yang aktif. Baik pemikiran-pemikiran penyair yang merefleksikan dunia luar dari puisi-pusinya, maupun pemikiran yang benar-benar baru yang memancarkan cahaya penyair sendiri. Maka, kepentingan pembaca dalam hal ini adalah sebagaimana penyair bisa menjadikan puisi refleksi dari pengalaman kehidupan nyatanya, militansinya, keseriusannya.
Pada titik ini tepat pendapat Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi, penyair dan dosen pada Departemen Filsafat Universitas Indonesia dalam endorsement-nya; Rentang waktu yang cukup panjang, terkait pengalaman dan kenangan yang tertulis dalam puisi menunjukkan konsistensi Eka Budianta sebagai penyair. Lokalitas dan internasionalitas adalah ciri kosmopolitannya, tulisnya.
Salah satu daya tarik yang menjadi keunikan buku ini, Eka Budianta mengukuhkan diri ke dalam semacam kredo atau katankanlah visi kepenyairannya salam dua tulisan pembuka dan penutup. Penyair adalah dia yang menuis puisi yang membangkitkan semangat, puisi yang bisa mengubah hidup dan puisi untuk perubahan (Hal xiii).
Eka Budianta menutup bukunya dengan refleksi, yang dapat dikatakan sebagai dua buhul berbeda namun tertaut keutuhannya. Antara yang absurd dan yang religius. Eka Budianta mengenang bagaimana di usia belasan melarikan diri dari rumah. Ia mengalami konfrontasi antara keinginannya untuk mengerti dan dunia nyata orangtuanya yang bisu dan penuh rahasia Absurditasnya ini demikian penting bagi pergulatan kepenyairannya, sekaligus ucapan terima kasih pada guru agama dan spiritualnya. Pengakuan Eka Budianta mengingatkan pada ujaran Goenawan Mohamad yang menyimpulkan gerakan Pujangga Baru ‘wilayah pertama puisi adalah tubuh.’
Bertahun kemudian betapa Eka Budianta sadar membawa tubuhnya bertualang melanglang buana ke berbagai benua, dan pelosok Nusantara. Boleh jadi, pada satu sisi ada spirit antusiasme pada puisi-puisi Eka Budianta sebagaimana gaung S. Takdir Alisjahbana. Juga keindahan romantisisme gerakan zamannya. Meski begitu, barangkali yang sunyi dari Takdir, namun demikian bergema dalam puisi-puisi Eka Budianta adalah religiusitasnya. Yakni sebagai anak yang hilang, namun kembali ditemuan. Tak lain tulisnya: karena kekuatan doa guru agamanya, puasa khusus yang memohon agar Tuhan membimbingnya.
Eka Budianta lahir 1956 di Ngimbang Jawa Timur, menjadi wartawan majalah Tempo (1980-1983), Yomiuri Shimbun (1984-1986), Radio BBC di London (1988-1991) dan kolumnis majalah Trubus dari 2001 sampai sekarang. Buku puisinya “Cerita di Kebun Kopi” (Balai Pustaka, 1981) menjadi buku inpres dicetak 83,000 eksemplar, dan “Langit Pilihan” menang buku puisi terbaik Kemendikbud, 2012. Sejumlah karyanya telah terbit dalam bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Belanda, Jerman, Korea, Perancis dan Finlandia. Beberapa kali ia diundang untuk berpuisi di dalam maupun di luar negeri, termasuk di Inggris, Amerika Serikat, Lebanon, Korea, China, Jerman, dan kawasan ASEAN.
Membaca buku puisi terbarunya Sungai Sejati ini tak lain adalah ikhtiar memahami diri mendapat suatu kehormatan dilibatkan berperan penting dalam merayakan karnaval sastra, puisi, kata. Betapa dunia menjadi lebih berlapis berkat diksi, pilihan kata yang padu (metafora) menjadi kejutan-kejutan. Betapa sublimasi kata menjadi metafora yang demikian akan melambungkan ambiguitas puisi dan sangat penting bagi pembaca sebagai ‘penyair’ atau penulis puisi kedua dari puisi-puisi yang dibacanya dalam buku ini. Inilah harapan besarnya bagi pembaca khususnya dan dunia sastra umumnya—utamanya khazanah kepenyairan. ●
*) Penulis adalah pengarang, pemerhati dan penikmat sastra.
S. Jai. Lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019), masuk 10 besar penghargaan sastra nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Ngimbang, Lamongan. Telp 081-335-682-158
Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/18/sejarah-ketakjuban-dan-kengerian