MERAYAKAN terbitnya buku ini, sayup terdengar kembali suara penyair Chairil Anwar atas nama suatu cerita dalam orasinya yang terkenal itu: “Sebuah cerita yang menjadi adalah sebuah dunia.”
Bukan saja karena setiap lahirnya buku—seperti halnya sajak atau cerita—mesti dirayakan sebagai karnaval keragaman suara (bahasa, tanda, wacana) melainkan juga lantaran buku ini adalah karya cipta, ciptaan.
Juga lantaran musti diakui, betapa membutuhkan semacam ikhtiar menempatkan karya cipta cerita dalam buku ini benar-benar sebagaimana cerita dan bukan berita. Suatu realitas dan bukan aktualitas. Suatu cerita yang dilahirkan sebagai saudara kandung sajak, dan mungkin saudara tiri dari berita.
Sebuah cerita yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si pencerita, dibentuk dari materi, rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya serta tetek bengek jiwa dan segala daya kreativitas menjadi suatu dunia baru yang utuh. Dengan kata lain, dunia ciptaan—suatu cerita—yang tidak pernah selesai dibaca. Atau tepatnya suatu dunia yang menolak untuk diselesaikannya. Oleh karena suatu cerita adalah medium yang memang ditakdirkan sebagai tempat berlabuhnya segala kerinduan pembaca pada apa saja.
Pendeknya, sebagai suatu cerita, Jalan Kecil, kumpulan cerpen Dewi Musdalifah ini berpusar pada perihal kerinduan-kerinduan. Pertanyaan yang mesti dijawab, atau setidaknya direnungkan pembaca adalah kerinduan terhadap apa? Nah, dalam konteks ini boleh diduga sekadar perbincangan buku, jika pun penting, kiranya oleh karena setiap yang selaku pembaca siapapun tak henti mencari, menemukan, dan merenungi kerinduan yang sama atas nama diri rohani pembaca.
Cerita Kecil Melestarikan Keunikan
Memang, salah satu buhul pencarian pembaca adalah betapa sebanyak 16 cerita dalam buku ini memperlihatkan kesungguhan pencerita dalam menciptakan realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas belaka. Betapa pencerita adalah dia yang memahami dan menggambarkan suatu pengalaman individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupannya. Betapa pencerita buku ini tidak merusak atau melumpuhkan pengalaman kemanusiaannya, melainkan mempercantiknya, mengindahkannya.
Kerinduan-kerinduan yang diterbitkan pencerita dalam buku ini terhampar baik diurai secara sederhana maupun dalam kompleksitasnya. Barangkali kesederhanaan itu terwakili sebagai cerita-cerita pendek dan patut disebut cerita yang kecil. Namun, tentu sebagai semacam karnaval, bilamana semakin kompleks, semakin pelik, rumit dan berbelit bisa menjadi daya tarik yang memukau.
Sebagian besar kerinduan itu jalin kelindan dengan tamsil cahaya cinta, termasuk pemberontakan-pemberontakannya atas penderitaan dalam cerita; sungai, rumah, tanah, mata air, burung, kekasih, keluarga, nyanyian, laut, jalan sunyi. Menariknya, cerita tak lantas membuat pencerita sepenuhnya bersetuju dengan tujuan cerita—atau cerita yang bertujuan. Katakanlah, semisal nasihat, dakwah, perintah, terlebih dogma dan sejenisnya. Sebaliknya, kelucuan, kelembutan, kenakalan, juga kejutan dan kesan mendalam bisa malah diketengahkan pencerita dari balik kesederhanaan peristiwa, bahasa, pengalaman estetik pencerita, maupun kompleksitas yang memukau.
Cerpen Pertapa Penggenggam Mata Air, sebagai pembuka buku ini misalnya, mengisahkan sosok nelayan yang memecahkan misteri ilmu kesabaran dan ikhlas; “Ikan-ikan itu melompat sendiri ke dalam ember. Melempar jaring hanyalah sebagai sebuah kewajiban,” (Hal.4).
Cerpen Lelaki yang Berumah Sepi menceritakan dua sosok—lelaki ayah dan putranya yang menunggu tamu paling indah di ruang sunyi. Yakni; kematian (Hal. 91). Kematian yang sama-sama ditunggu atas nama cinta. Sang ayah rindu ruh istrinya yang mendahului tiada, sementara sang putra kesepian oleh karena kemuakannya pada musik yang telah jadi perayaan di dunia. Ia rindu orchestra sacral di alam lain selain dunia.
Cerpen Cinta dan Pemberontakan, adalah pergulatan cinta seorang gadis melawan tradisi pernikahan sekampung. Semacam absurditas cinta, oleh karena meski menjauh dari budaya tersebut, cinta justru tak bisa ditolak. “Kampung ini seperti sebuah koloni yang berkembang biak dengan bangsanya sendiri. Kini mereka sudah memiliki keturunan lebih dari satu, membuat udara tak cukup lega untuk dihirup. Jalan terbaik bagiku adalah keluar dari kampung ini setelah mampu bekerja,” (Hal.33).
Buku ini ditutup dengan cerpen Manusia Aneh—kisah cinta sejoli yang telah sama-sama berusia di ujung senja. Pertemuan lelaki perempuan setelah jatuh cinta lebih 20 tahun lalu. “Kau tahu, bila aku mampu membujuk Tuhan, aku akan minta memutar ulang semua untuk bisa hidup bersama,” aku tak berpikir apapun, juga tentang rayuan, kecuali melengkapi keanehan-keanehan kita—kau dan aku (Hal.136).
Uji Coba Kepribadian Penulis
Sampai di sini sekali lagi dapat dikatakan, buku ini amat penting keberadaannya. Penting dibaca. Penting dikaji. Oleh karena setiap cerita bagi pencerita yang bersungguh-sungguh menciptakan dunianya—bahwa cerita yang menjadi adalah sebuah dunia—tak lain menampilkan kejujuran-kejujuran dalam proses penciptaannya.
Proses penciptaan adalah pencarian, pertemuan, penemuan serta kematangannya dalam berbahasa di dunia barunya tersebut. Kejujurannya, kesungguhannya, ketenangannya dalam mencipta boleh dikata adalah nyawa pencerita. Ambisi, emosi, tujuan praktis bukanlah darah pencerita. Karena bukankah proses yang tidak bernafsu untuk mencapai tujuan tertentu secara emosional dalam penulisan sastra adalah yang tertinggi dalam bersastra?
Buku ini membuat kita menyadari kembali, atau semacam refleksi bahwa dunia baru ciptaan pencerita adalah citra pikiran penulisnya. Baik citraan dari pikiran yang pasif maupun yang aktif. Baik pemikiran-pemikiran pencerita yang merefleksikan dunia luar dari cerita-ceritanya, maupun pemikiran yang benar-benar baru yang memancarkan cahaya penulisnya sendiri. Buku ini ditulis dalam bahasa yang cukup liris, tenang dan jernih karena selain prosaic di sejumlah media, Dewi Musdalifah yang kelahiran Gresik 23 Juni 1974 juga dikenal sebagai penyair dan pendidik. Buku puisi tunggalnya yang telah diterbitkan: Kembara (2013), dan Sakau (2018).
Dalam merefleksikan hal demikian, terlintas apa yang pernah ditulis oleh pengarang Budi Darma. Katanya, sebetulnya menulis merupakan ujicoba setiap penulis terhadap kepribadiannya sendiri, yang hakikatnya suatu percakapan dengan dirinya sendiri. Kalimat pesohor ini bukanlah suatu jalan untuk menemukan jawaban. Melainkan, melalui membaca buku ini pada satu sisi siapapun merasa semakin mengenal penulisnya. Namun pada sisi lain, justru kian sulit menjangkau alam pikiran, misi maupun visinya sebagai pencipta suatu dunia yang baru.[]
Sumber: https://lensasastra.id/2022/09/18/cerita-cerita-sebagai-citra-rohani/
Penulis:
S. Jai. Lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019), masuk 10 besar penghargaan sastra nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Lamongan.