Penulis: Tjahjono Widijanto
Editor : S. Jai
Halaman: x+106
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-623-6910-73-3 Cetakan pertama, Agustus 2022
ASAL MULA adalah kata, jagat tersusun dari kata. Begitu ujar penyair Subagio Sastrowardoyo. Demikian halnya dengan puisi. Muasalnya adalah bunyi. Makna terbentuk oleh bunyi.
Ada hubungan kuat, dan bahkan inhern antara kata dan bunyi, puisi dan makna, pencarian dan penemuan serta pembacaan dan penulisan.
Puisi ditulis melalui pembacaan dan pemaknaan atau penafsiran. Demikian halnya pembacaan tak lain adalah kegiatan pemaknaan atau penafsiran atas teks. Tinggal bagaimana menempatkan teks itu apakah sebagai kata, bahasa, bunyi, puisi ataukah teks dalam pengertian semesta realitas.
Dengan kata lain, disitulah jarak baik ruang maupun waktu antara puisi sebagai suatu karya otentik penyair, dan momen puitik sebagai suatu proses pembacaan, penafsiran, pemaknaan penyair atas suatu peristiwa sehingga puisi perlu dituliskannya.
Sebagai suatu bunyi, puisi-puisi yang termaktub dalam buku Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal antologi puisi karya Tjahjono Widijanto hampir pasti tak ubahnya musik, dendang, nyanyian, kesunyian, partitur dan sejenisnya. Sebagai sekumpulan kata, metafor, buku ini dapat dikatakan hasil pergulatan suatu tradisi, konvensi, simbolisasi, visi, sejarah estetika, termasuk berbagai mitos-mitos, juga semacam teologi puisi yang terhampar dalam kemungkinan-kemungkinannya.
Sementara itu puisi sebagai karya kreatif dari suatu proses pencarian dan penemuan melalui peristiwa tertentu yang menggetarkan penyairnya, menerbitkan suatu tanya; apakah puisi harus bermakna?
Terang jawabannya adalah: Harus.
Karena yang bekerja dalam tataran pemaknaan tak lain adalah penafsiran, pemahaman dengan pelbagai jejaring pengetahuan manusianya baik penulis maupun pembacanya. Jejaring pengetahuan yang dimaksud antara lain interpretasi, imajinasi, intuisi, persepsi dan lain sebagainya yang diharapkan menerbitkan pemaknaan, atau pemahaman ketika sedang melakukan pembacaan puisi (bagi pembaca) dan momen puitik (bagi penyair).
Peristiwa pembacaan, penafsiran, interpretasi atas teks oleh siapapun manusia inilah yang disebut Martin Heidegger dan dikutip dengan sangat baik oleh F. Budi Hardiman sebagai Seni Memahami. Sekali lagi teks yang dimaksud bisa teks apa saja, bisa berupa konteks peristiwa, maupun teks bahasa, termasuk puisi.
Pendek kata, bagaimana memaknai, menafsirkan dan memahami puisi-puisi dalam buku ini tergantung pada kekayaan jaring pengetahuan pembacanya. Maka, dengan demikian terbitnya buku puisi Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal sebagai suatu teks hasil pembacaan teks musti dirayakan untuk dibaca seluas-luasnya. Karena betapapun, terhadap puisi, bunyi, itulah seorang penyair—dalam bahasa Franz Kafka—adalah seorang yang ‘menemui’ dan ‘menemukan’ kata. Penyair tidak hanya menghitung jarak bahasa yang ditemuinya dengan konvensi yang sudah ada tetapi lebih dari itu menciptakan, menemukan yang baru bermula dari pengalaman-pengalaman puitiknya sendiri.
Maka sudah barangtentu, buku Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal jelas memperlihatkan usaha keras penyairnya dalam melukiskan ‘perjumpaan’ dan ‘penemuan’ itu sebagai pengalaman-pengalaman puitiknya, usaha menyingkap dan mengungkap otensitas dari pengalaman-pengalaman kepenyairannya.
Terang tujuannya, tak lain adalah untuk dibaca.