Judul Buku: Balada Mahasiswa Estiga

Selama lima tahun saya menjalani masa studi di negara orang (iya, masa negara kumbang), tentu bermacam pengalaman yang saya rasakan. Hidup di negeri orang itu tidak gampang. Tapi harus dibuat senang. Itu barangkali kunci dan pedoman hidup yang selalu saya bawa dan terapkan. Dimanapun saya berada, carilah selalu aspek menyenangkan yang bisa didapatkan di sana. Biar betah. Termasuk soal bekerja. Ada saja orang yang bertanya, “Sudah dapat beasiswa, kenapa harus bekerja?” Ini pertanyaan klasik.

Kami, yang sekolah ke luar negeri, harus rela gaji dipotong lebih dari lima puluh persen, lalu tidak menerima tunjangan sertifikasi. Sementara, pengeluaran tetap jalan seperti biasa. Uang beasiswa hanya untuk membiayai penerima beasiswa. Sementara bagi yang membawa keluarga, tidak cukup hanya hidup dari doa. Maka, bekerja tambahan adalah solusinya. 

Saya memilih pekerjaan yang tidak berkaitan dengan apa yang saya kerjakan sehari-hari di kampus. Istilah kasarnya, saya memilih pekerjaan yang tidak perlu mikir. Padahal, prakteknya, semua pekerjaan tetap perlu mikir. Malah kadang lebih berat daripada mikir riset. Saya pribadi mencoba mencari pekerjaan-pekerjaan yang kadang tidak lazim bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri. 

Saya pernah sekolah S2 di tempat yang sama, dan sejak S2 itu, saya termasuk orang yang pernah bekerja di banyak jenis pekerjaan. Mulai dari tukang bersih rumah, tukang bersih kantor, tukang cuci piring di GOR, tukang sampah di acara lomba pacuan kuda, tukang antar koran di perumahan, tukang angkat minuman di acara musik, tukang isi barang dagangan di supermarket, asisten guru SD, tukang pos saat liburan natal, hingga tukang jual koran di toko bangunan tiap hari Minggu.