KATA-KATA BIJAK, nukilan, kutipan, sitat, quote, kerap terkait dengan ungkapan filsafat, pemikiran, tradisi, puisi, estetika, ujaran agamawan-rohaniwan, ungkapan yang bajik dan sejenisnya.
Sebagai ungkapan filsafat, misalnya, kata-kata bijak (bajik) terhubung dengan apa itu peristiwa—pembacaan, penafsiran, interpretasi atas teks. Inilah yang disebut Martin Heidegger dan dikutip dengan sangat baik oleh F. Budi Hardiman sebagai Seni Memahami. Sebagai teks, yang dimaksud bisa teks apa saja; konteks peristiwa, ujaran, maupun teks bahasa, termasuk puisi.
Pendek kata, bagaimana memaknai, menafsirkan dan memahami teks dalam buku ini tergantung pada kekayaan jaring pengetahuan pembacanya. Maka, dengan demikian terbitnya buku ini sebagai suatu teks hasil pembacaan teks musti dirayakan untuk dibaca seluas-luasnya.
Begitulah buku Santri Sejati, yang sederhana ini ditulis oleh seorang yang tidak sederhana dalam pengetahuan seni memahaminya—pemahaman tafsir seorang guru, pemikir, penyair, pendidik, agamawan, seorang yang selalu bergerak mencipta ruang kebudayaan.
Meski demikian, sebagai semacam pesan, sekaligus demi menyambut, merayakan karnaval kata-kata, suatu kesan yang berkenan dipetik dari sepenggal catatan penulis buku ini. Tulisnya; menantu Baginda Rasul yang juga sekaligus sahabat Rasululloh saw yakni Sayyidina Ali bun Abi Tholib Karromallohu Wajhah berkata, “undzur maa qoola wa laa tandzur man qoola–lihatlah apa yang disampaikan jangan melihat siapa yang menyampaikan,” mengajarkan betapa penting makna-makna kalimat, quote, motto, kutipan bisa menjadi inspirasi kehidupan.•