Buku ini memuat informasi deskriptif tentang pertunjukan wayang orang dengan lakon “Ngawruh”. Suatu kepercayaan institusi pemerintah yang diwakili Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya Provinsi Jawa Timur kepada komunitas seni tradisional yang dalam pembicaraan ini adalah Graha Seni Mustika Yuastina.
“Ngawruh” sebagai pertunjukan tentu sudah hilang dalam waktu. Yang tersampaikan di catatan ini adalah perilaku yang teramati dan terekam dalam ingatan dan dokumentasi. Sedangkan nilai estetiknya telah meresap dalam jiwa para pemirsanya. Dalam perspektif etimologis, “Ngawruh” tidak ditemukan dalam rentetan cerita epos mahabarata yang lazim dimanfaatkan wayang orang sebagai muatan pertunjukannya. Tetapi makna “Ngawruh” merupakan analogi dari muatan substansial Serat Dewa Ruci yang oleh sutradara sekaligus penulisnya diceritakan seakan merupakan bagian dari epos mahabarata tersebut.
“Ngrawruh” dalam etimologi Jawa (ngangsu kawruh) adalah jalan untuk mencapai ilmu. Dalam konteks pertunjukan wayang orang yang sedang kami informasikan ini adalah jalan mencapai ilmu kesempurnaan hidup melalui proses spiritual. Istilah “Ngawruh” ini sepadan dengan substansi cerita Dewa Ruci yakni sang tokoh berguru untuk mendapatkan jati diri. Kesejatian diri merupakan jawaban dari pertanyaan filosofis dari sang tokoh yaitu: mengapa, bagaimana, dan kemana manusia. Pertanyaan itu melahirkan ideologi selanjutnya memunculkan praktek-praktek spiritual yang disimbolkan dalam bentuk pencarian makna pembelajaran, oleh para leluhur dikemas dalam mutiara kata “Air Suci Perwitasari”.