Penulis : Dewi Musdalifah
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : xiv + 142 ;
Berat : 250 gram
Sampul : Sotf Cover
ISBN : 978-623-6910-75-7
Harga : Rp 50.000
Sebanyak 16 cerita dalam buku ini memperlihatkan kesungguhan pencerita dalam menciptakan realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas belaka. Betapa pencerita adalah dia yang memahami dan menggambarkan suatu pengalaman individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupannya. Betapa pencerita buku ini tidak merusak atau melumpuhkan pengalaman kemanusiaannya, melainkan mempercantiknya, mengindahkannya.
Kerinduan-kerinduan yang diterbitkan pencerita dalam buku ini terhampar baik diurai secara sederhana maupun dalam kompleksitasnya. Barangkali kesederhanaan itu terwakili sebagai cerita-cerita pendek dan patut disebut cerita yang kecil. Namun, tentu sebagai semacam karnaval, bilamana semakin kompleks, semakin pelik, rumit dan berbelit bisa menjadi daya tarik yang memukau.
Sebagian besar kerinduan itu jalin kelindan dengan tamsil cahaya cinta, termasuk pemberontakan-pemberontakannya atas penderitaan dalam cerita; sungai, rumah, tanah, mata air, burung, kekasih, keluarga, nyanyian, laut, jalan sunyi. Menariknya, cerita tak lantas membuat pencerita sepenuhnya bersetuju dengan tujuan cerita—atau cerita yang bertujuan. Katakanlah, semisal nasihat, dakwah, perintah, terlebih dogma dan sejenisnya. Sebaliknya, kelucuan, kelembutan, kenakalan, juga kejutan dan kesan mendalam bisa malah diketengahkan pencerita dari balik kesederhanaan peristiwa, bahasa, pengalaman estetik pencerita, maupun kompleksitas yang memukau.
Cerpen Pertapa Penggenggam Mata Air, sebagai pembuka buku ini misalnya, mengisahkan sosok nelayan yang memecahkan misteri ilmu kesabaran dan ikhlas;
Cerpen Lelaki yang Berumah Sepi menceritakan dua sosok—lelaki ayah dan putranya yang menunggu tamu paling indah di ruang sunyi. Yakni; kematian (Hal. 91). Kematian yang sama-sama ditunggu atas nama cinta. Sang ayah rindu ruh istrinya yang mendahului tiada, sementara sang putra kesepian oleh karena kemuakannya pada musik yang telah jadi perayaan di dunia. Ia rindu orchestra sacral di alam lain selain dunia.
Cerpen Cinta dan Pemberontakan, adalah pergulatan cinta seorang gadis melawan tradisi pernikahan sekampung. Semacam absurditas cinta, oleh karena meski menjauh dari budaya tersebut, cinta justru tak bisa ditolak.
Buku ini ditutup dengan cerpen Manusia Aneh—kisah cinta sejoli yang telah sama-sama berusia di ujung senja. Pertemuan lelaki perempuan setelah jatuh cinta lebih 20 tahun lalu.●