Buku ini adalah kumpulan esai Dewi Musdalifah. Lebih empat puluh tulisan yang sebagian besar dimuat media terperinci dalam esai-esai tentang; solilokui, dialog, budaya, pendidikan, komunitas, sastra, seni rupa, film, momentum, serta memoar.
Di antara banyak peran yang melekat, menulis membantu mengembalikan tubuh dan pikiran pada pusatnya. Ia menempatkan kembali sebagai manusia utuh: seseorang yang merasakan dan mempertanyakan, menyimpan luka sekaligus merawat harapan, dan sesekali tersandung oleh hal-hal sederhana. Bukan sebagai anak yang diandalkan, atau istri yang harus mengerti, bukan pula sebagai ibu yang dituntut kuat, dan pekerja yang harus selalu siap. Menulis memberi celah bagi diri sendiri untuk muncul tanpa embel-embel itu semua.
Perjalanan menulis tidak pernah sepenuhnya tenang. Puisi menemani ketika kata-kata hanya bisa muncul dalam simbol. Cerpen menjadi jalan untuk mengamati manusia lain. Esai hadir ketika ingin menatap satu pikiran lebih lama, mengurai asal-usulnya, mengikuti jejaknya tanpa tergesa. Perpindahan antar-genre itu tidak pernah direncanakan, tetapi ia menunjukkan bagaimana hidup membentuk cara memahami sesuatu. Dan tidak ingin berhenti pada satu bentuk, karena ada banyak ketertakjuban pada dunia yang tidak cukup jika hanya dituliskan dengan satu cara.
Dalam buku ini, pembaca mungkin tidak menemukan satu gagasan besar. Tulisan-tulisan ini lebih mirip ruang menaruh apa yang mengganggu, membuat penasaran, atau apa yang ingin disimpan agar suatu hari nanti bisa melihatnya kembali. Tidak menulis untuk memberi jawaban hanya mendengarkan apa saja yang selama ini tidak sempat didengar.
Membayangkan pembaca bukan sebagai seseorang yang harus diyakinkan, melainkan sebagai seseorang yang juga memiliki tumpukan pikiran yang sering tak punya ruang. Jika ada yang terasa dekat, mungkin karena pengalaman manusia sering berpapasan tanpa disadari. Jika tidak, setidaknya tulisan-tulisan ini menjadi bukti bahwa pernah berusaha memahami diri dengan cara yang paling mungkin.
Beberapa esai pernah terbit di media lain. Namun saat mengumpulkannya kembali, menemukan bagian-bagian yang dulu belum berani dituliskan. Ada perasaan yang dulu dibiarkan samar, ada pemikiran yang tertahan karena belum siap. Menuliskan ulang memberi kesempatan untuk menyentuhnya dengan jarak yang lebih sehat.
