Kata-kata ‘jiwa tampak’ ada korelasinya dengan hal lain yang lebih punya arti. Atau boleh jadi punya nilai lebih. Apa itu? Inilah asal mulanya : bahwa lukisan itu adalah jiwa tampak yang diperlihatkan pelukis dari karya-karyanya. Manakala kita elaborasikan, karya apapun dalam ranah penciptaan seni misalnya, adalah cermin jiwa dan karakter dari penciptanya : sang seniman.
Dalam konteks perpuisian, inilah ‘jiwa tampak’ itu. Jiwa dan karakter seorang M. Rohanudin yang “dinampakkan” pada puisi-puisinya, baik yang panjang, bahkan sangat panjang; maupun puisi-puisi pendeknya, bahkan ada yang sangat pendek. Seperti pada puisinya yang sangat panjang berjudul ‘Dari Sini Indonesia Masih Ada’ (halaman 26 – 28), maupun pada puisi terpendek ‘Magrib’ (halaman 35).
Dua puisi di atas tercantum di antara 24 puisi yang ada di buku kumpulan puisi M. Rohanudin Bicaralah yang Baik-Baik (Yayasan Pustaka Obor Indonesia – 2020, 88 halaman) ini, menunjukkan jiwa dan karakternya : humanis, relijius, dan anti penindasan. Selain itu, di buku ini juga dimuat tiga puisi yang dijadikan lirik lagu.
Demikianlah jiwa dan karakter puisi-puisinya dalam buku yang dicetak dengan kemasan estetik dan artistik ini, jika dinarasikan dalam perspektif totalitas. Namun, yang menohok dari puisi berjudul ‘Bicaralah yang Baik-Baik’ (halaman 30-31 di buku kumpulan puisi Bicaralah yang Baik Baik) yang dari selintas mengekspresikan adab santun itu, justru Rohan mengemasnya dengan teknik klimaks yang disajikan pada alinea (bait) pertama, yang lantas mendiskripsikannya dalam rentetan bait-bait berikutnya.
