Mempertanyakan Kepahlawanan Ala Zoya
SEBENARNYA adakah seorang pahlawan sejati? inilah pertanyaan yang mencoba diungkapkan oleh Zoya Herawati dalam novelnya Jamaloke.
Banyak orang yang sebenarnya tidak layak disebut pahlawan bahkan saat meninggal pun tak layak untuk dimakamkan di makam pahlawan. Dalam proses perjuangan memperjuangkan kemerdekaan bahkan ada juga yang licik dalam artian mendua. Namun kenyataannya merekalah yang selama ini menikmati kue kemerdekaan.
Berbeda nasibnya dengan tokoh utama di novel ini, tokoh utama novel ini sangatlah menderita hidupnya. Dimulai dari kehilangan Ayahnya karena perang dan keterlibatannya menjadi pasukan pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Selama bergabung dengan pasukan pejuang itulah ia menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah sekali berubah haluan jika terjepit keadaan. Ternyata tidak semua pejuang (tentara) pada saat perjuangan kemerdekaan itu tulus hatinya. Di antara mereka ada juga yang bermental hipokrit.
Novel yang mengambil latar di Surabaya dan sekitarnya ini berkisah tentang perang mempertahankan kemerdekaan dan pernak pernik perubahan pelaku yang terlibat di dalamnya hingga tahun 1965.
Kepahlawanan menjadi suatu yang nisbi. layakkah status pahlawan disematkan pada seseorang yang pada akhirnya merusak nilai-nilai dari apa yang diperjuangkannya. Korupsi dan kolusi untuk keuntungan pribadi menjadi penyakit yang tak mudah dihindari. Kejujuran menjadi sulit untuk dilakukan saat kesempatan untuk berbuat curang begitu terbuka dengan amat lebar.
Banyak tokoh yang digambarkan oleh Zoya dalam novel ini berbanding terbalik dengan sikapnya saat memanggul senjata dalam perang kemerdekaan. Ketika negara baru terbentuk dengan segala instrumennya yang baru, para pelaku peperangan mendadak berubah bahkan berwajah sebagaimana wajah penjajah; Menghalalkan segala cara untuk memperkaya dirinya sendiri.
Aku, Tokoh utama dalam cerita ini menjadi tentara JAMALOKE. Ya tentara Jamaloke sandhang pangan goleka dhewe. Sebuah istilah yang dinisbatkan pada segerombolan pasukan pada saat perang di Surabaya dan sekitarnya, karena begitu prihatinnya dalam artian, jauh dari akses kebutuhan layaknya sebuah pasukan, sehingga mereka mencari harus mencari kebutuhan sendiri-sendiri.
Mereka saling bahu-membahu sebagai sebuah pasukan tempur berbagi suka dan duka saat mengusir sekutu dan Belanda dari Indonesia. Namun, nasib tiap-tipa anggota Jamaloke memang tidaklah sama. Sebagaimana nasib manusia dalam kehidupannya ada yang susah ada yang bahagia. Selepas perang kemerdekaan ternyata, cobaan kehidupan menjadi lawan terberat mereka dalam mempertahankan jati diri sebagai manusia yang bermental pahlawan..
Tokoh utama dalam Novel Jamloke ini mempunyai kemiripan dengan Idrus tokoh dalam roman Royan Revolusi karangan Ramadhan KH. Dalam Royan Revolusi Idrus juga mengalami gegar budaya saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah berakhir. Ia menyaksikan banyak kawannya yang dahulu begitu jujur dan sepertinya tanpa pamrih tiba-tiba berubah sikapnya saat perang sudah berakhir.
Idrus melihat banyak ketidakjujuran dari teman-temannya dalam menjalani kehidupan. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjalari mereka tanpa ampun dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi.
Meski tokoh aku dalam Jamaloke dan Idrus dalam Royan Revolusi berbeda status sosial, namun keduanya mempunyai prinsip hidup yang sama yaitu mengedepankan kejujuran. keduanya menyadari bahwa melawan penjajah ternyata lebih mudah daripada melawan godaan keduniawian.
Namun apa yang dialami tokoh Aku dalam novel jamaloke ini libih miris. Hidup tanpa penanggungan dari negara karena, meski sempat berpangkat pembantu letnan satu, terkena imbas restruksturisasi Tentara/BKR pada saat itu. Ia harus menyambung hidup sebagai tukang becak hanya demi memegang prinsip mencari hidup secara jujur dan halal. Ia tak mau seperti para hipokrit itu; menghianati hati nurani hanya demi urusan perut.
Sebuah akhir hidup yang betul-betul diluar dugaan. Sebagai mantan pejuang ia harus tinggal di pantai jompo yang sepi. Sebuah narasi yang membawa suasana putus asa dengan apik diutarakan oleh tokoh Aku di penghujung novel yang mengharu biru sekaligus penuh etos perjuangan ini.
Kegagalanku meyakinkan banyak orang, bahwa kebohongan akan musnah, pada suatu saat, ternyata telah menjadi semacam bumerang yang menghantam keras-keras. Kenyataan yang berlaku, membukakan mataku akan kebenaran ramalan seorang pujangga Jawa. Zaman sudah semakin edan, siapa yang berusaha mengelak dari kenyataan, akan tersisihkan (hal.221).
Jika sudah seperti ini siapakah pejuang itu sesungguhnya?
(Agus Buchori)
AGUS BUCHORI Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan, 17 November 1975. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan. Tahun 2018 terpilih menjadi arsiparis teladan Jawa Timur dan tahun 2019 menjadi finalis Arsiparis Teladan Nasional yang diselenggarakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia. Puisinya tersebar di Bali Post, Bicara.news.com, Pustakaekspresi.com, Radar Bojonegoro (Jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Tahun 2019 kemarin meluncurkan Antologi cerpen terbarunya: Muson Serta Muasal Puisi, sebuah antologi puisi di tahun 2020. Di tahun 2021 juga menerbitkan Mat Klobot, esai budaya tentang dinamika Desa Paciran dan Sana Sini Literasi, esai tentang dunia baca tulis dan bagaimana mencari informasi. Bisa di hubungi di agusbuchori@gmail.com.