Nurel: Tafsir dan Takdir

Oleh S. Jai

 

KEPERGIAAN Nurel Javissyarqi meninggalkan misteri; bagi saya, keluarganya, dan tak sedikit orang. Ini nyata dari sejumlah tulisan, komentar, kesan, telpon para sahabat. Akan tetapi, misteri yang saya maksudkan bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib, meski tak bisa disangkal inilah mistik.

Bukankah manusia memang makhluk misteri?

Terlebih Nurel nyata sekali sosok yang mengerti, bahwa dirinya, juga hidupnya sangat misterius. Segala laku dan sepak terjangnya tak lain untuk itu, meski entah sebenarnya ia telah betul-betul mengerti ataukah pura-pura mengerti bahwa semua itu akan sia-sia.

Pada sisi yang lain, misteri eksistensi hidup seseorang berhenti pada puncaknya tepat saat kematiannya.

Bagi saya pribadi, misteri itu menerbitkan sejumlah pertanyaan, misal, nyaris tak banyak, bila tak dikatakan tak ada yang membicarakan sajak-sajaknya, meski ia mendaku seorang penyair. Dengan kata lain, sejumlah komentar, kesan, pendapat nyaris senada, seragam dan satu suara, seakan menutup kemungkinan lain perihal kesadaran-subjek-pribadinya.

Walau semestinya, melalui sajak-sajaknya justru akan bisa berbicara lebih beragam perihal kemungkinan-kemungkinan untuk ‘mengerti’ misteri Nurel. Baik perihal pandangan dunianya, otentisitasnya, utamanya; bagi siapapun yang jarang atau bahkan tidak pernah berjumpa, atau terlibat langsung aktivitas Nurel yang sesungguhnya di lapangan sastra.

Pendek kata, pendapat seragam tentang sosok Nurel itu lebih banyak didasari pada (hanya) aktivitas sesungguhnya yang bersangkutan di lapangan sastra; perihal jejaringnya, militansinya, pendokumentasiannya, bersikukuhnya menghidupi karya sastranya. Sementara perihal kemungkinan-kemungkinan lain kesadaran-subjek-pribadinya, semisal; paradoks gagasan-gagasannya, anomali bahasanya hampir jarang diungkapkan.

Tentu saja, kemungkinan-kemungkinan tersebut termasuk keindahan-otentisitas kepenyairannya, keunikan-keunikan temuan pembacanya, maupun kompleksitas keunikan-gagasan Nurel baik melalui karya-karya puisinya, kredonya, esainya, ocehannya, status media sosialnya dan lain sebagainya. Dengan kata lain, memungkinkan resepsi, tafsir, makna yang lebih dinamis, up to date dan bahkan out of the box, aeng, dan mungkin asing.

Pada titik ini setidaknya saya akan menafsirkan dengan pengalaman pembacaan saya, sebagaimana Nurel membaca, menangkap, dan menafsir sesuatu dunia yang membuahkan karya-karyanya, sementara hasil pembacaan saya, saya tuangkan dalam tulisan pendek ini.

Dengan kata lain, pada titik ini baik saya maupun Nurel berikut karya-karyanya, setaraf dalam aktivitas keunikan kerja kreatifnya.

***

SAYA tidak tahu persis sejak kapan, dimana, dalam rangka apa saling ‘bertemu’ dengan Nurel. Mungkin dapat pula dikatakan tanpa sepengetahuan kami. Hanya saja pada suatu malam di tahun 2008 Nurel menelepon saya dan mengenalkan dirinya, sebagai seorang yang ‘bertemu’ dengan tulisan-tulisan saya, baik cerpen maupun esai-esai saya. Bahkan lebih dari itu, Nurel mengaku tak hanya membaca, melainkan juga mengarsip tulisan-tulisan saya di sejumlah website maupun blok miliknya. 

Nurel katakan tulisan-tulisan saya termasuk yang banyak dibaca.

Saya yang semula baru sekali mendengar namanya, kemudian lebih aktif ‘bertemu’ dalam perbagai media; berbincang, bercanda, bertukar pikiran. Pendek kata pertemuan menjadi lebih masif. Sampai kemudian tak berapa lama, dalam sebuah perhelatan acara Dewan Kesenian Lamongan, Lamongan Art di bulan Desember 2008, serta pembacaan buku antologi puisi Laki-Laki Tak Bernama, Nurel berkali-kali memastikan kehadiran saya.

Saya baru tahu maksudnya, meski ia sendiri tak hadir, melalui kawan dari Kostela, Imamuddin SA, Nurel memberikan sejumlah cukup banyak buku terbitan Pustaka Pujangga—yang dikelolanya. Ada puluhan buku dan jurnal; karya Binhad Nurrohmad, Hudan Hidayat, Javed Paul Syatha, Suryanto Sastroatmodjo, Mardiluhung, Marhalim Zaini,  Teguh Winarsho.  Sudah barangtentu termasuk buku-buku karyanya.[1]

Semenjak itulah mula pertama perjumpaan saya secara metafisis dengan Nurel, melalui karya-karyanya; puisi dan esai.  Perjumpaan secara fisik tak lama berselang. Saya masih indekos di Surabaya waktu itu—sebelum sepuluh tahun kemudian saya pulang kampung dan buka usaha di Ngimbang, Lamongan.  Kami bertemu selepas Isya’ di bawah tiang bendera halaman Rektorat Kampus B Universitas Airlangga (Unair). Tentu saja kami tak sendiri, selain Nurel bersama seorang kawan bernama Zawawi, di bawah bendera itu memang biasa tempat kawan-kawan mangkal. Perjumpaan itu, membuat saya lebih tahu, ternyata kawan-kawan saya di Unair lebih banyak yang mengenal baik Nurel.

Tentu saja, pertemuan saya dengan Nurel berlanjut entah sudah berapa kali, sudah tak saya ingat selama puluhan tahun berikutnya. Singkat kata, ada yang saya ingat, ada pula yang tidak saya ingat, ada pula yang selalu saya ingat. Pertemuan-pertemuan tersebut selanjutnya menjadi ikhwal penghayatan, pembacaan, penafsiran, pemaknaan baik atas karya-karya Nurel, maupun bagaimana Nurel menghayati, membaca, menafsirkan, memaknai menulis sesuatu dunianya ke dalam karyanya.

Hal-hal tersebut selain menerbitkan pengetahuan psikis, metafisis dalam diri saya atas karya-karya Nurel, juga tidak jarang bahkan kerapkali menyerang saya untuk berhasrat mengulik pengetahuan subjektif-pribadi Nurel. Ada sejumlah yang saya suka, ada pula hal lainnya yang tidak saya suka.

Barangkali minat Nurel pada ‘waktu’, ‘takdir,’ ‘kehilangan’ juga ‘keberanian’ menarik untuk ditelisik.  Dalam pembuka bukunya Balada-balada Takdir Terlalu Dini (Pustaka Pujangga, 2001) Nurel meneguhkan suatu yang  memukau; Kitab ini dipersembahkan kepada waktu yang pernah hilang, maka temukan aku, agar kau dapat kehormatan yang belum pernah ada, sebelum & sesudah-Nya memberi takdir bagimu…[2]  Maka Nurel membersitkan akan suatu kehilangan, ketiadaan, juga penemuan kembali, serta kebaruan. Sementara perihal takdir Nurel lebih menekankan takdir dalam pengertian eksistensial sehingga hal itu terkait erat dengan sesuatu yang diakuinya sendiri sebagai keberanian. 

balada-balada saya tuliskan, tak sekuat Balada Orang-orang Tercinta (Rendra), tapi setidaknya diri punya keberanian; inilah balada (gaya) saya.[3]

Saya menduga “Takdir Terlalu Dini” terhubung dengan keberaniannya melahirkan sebuah karya, membukukannya, membincangkannya, menghidupinya sebagai anak-anak ideologis/welthanchaung yang sebetulnya belum waktunya, belum benar-benar siap bagi pembaca yang ‘sudah berpengetahuan umum’ perihal sajak, ikhwal kesusastraan, filsafat bahasa dan lain sebagainya.

Pada titik ini, takdir bagi Nurel adalah tafsir eksistensi dirinya sendiri, kesendiriannya, nasibnya berikut kegairahan-kegairahannya. Barangkali; masa-masa gelap di waktu usia mudanya, pencariannya pada suatu dunia yang tak bisa dipahaminya. Begitulah dalam peta eksistensial, betapa hidup memang tak terpahami. Maka tak lain Nurel memilih jalan sunyi, jalan sepi. Barangkali boleh diragukan apakah kesunyian, kesepiannya benar-benar pilihan kesadaran diri ataukah hidup telah memilihkan padanya jalan itu—sebuah pertanyaan eksistensi pula.

Seakan Nurel menyingkapkan diri (dan kelak memproklamirkan sebagai pengelana, pengembara) dalam sajak-sajak awal di buku ini perihal pengembaraan. Saya kutipkan sedikit dari puisi pertama Balada di Bukit Pasir Prahara;

II

Ia bagai pengembara

Berteduh di bawah trembesi tua,

Cahaya surya beranjak sore

Lagukan kidung jingga kemesraan

Dan dimanakah asal

Tempat tinggal dunia semestinya?[4]

Seorang pengelana, pengembara, dalam takdir eksistensi adalah dia yang niscaya membawa kegelisahan, kecemasan, penderitaan subtantif, kesia-siaan, keadaan apa adanya dan sekaligus ketiadaan hakiki. Kepada dirinya kerapkali membayangkan Ahasveros[5] atau Sisifus.[6] Seorang pengelana adalah pukau Nurel yang mengingatkan saya pada Chairil Anwar—penyair yang mendaku diri pengembara serupa Ahasveros, dalam sajaknya Tak Sepadan. 

Sialnya, ada yang tak saya suka pada diri Nurel yang sekaligus juga mengingatkan saya pada Chairil Anwar, yakni gaya merokoknya. Saya tak menggugat  dia perokok berat. Entah, saya khawatir gaya merokoknya baik dalam pertemuan maupun dalam foto-foto, termasuk sebagian besar yang tayang dalam buku-bukunya mirip atau meniru gaya pada foto Chairil Anwar yang terkenal dan arkaik itu sebagai jalan pelarian Nurel. Barangkali sebagai anomali, mungkin juga paradoks. Ada banyak penyair yang perokok berat, dan saya menduga tak sedikit yang mencuri gaya merokoknya dari Chairil Anwar.

Saya pernah iseng mengusik hal itu padanya, saya lupa bagaimana tanggapannya. Justru timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa saya mengkhawatirkannya? Lantas saya mencoba berpikir bahwa kekhawatiran saya tak lain adalah pertanyaan eksistensial pula. Secara ekstrem, di luar anomali atau paradoks, kekhawatiran saya pada Nurel atas pelarian tersebut adalah bunuh diri—tepatnya bunuh diri metafisis—hal yang sudah umum terjadi pada kebanyakan orang, sebagai lenyapnya kemerdekaan, hilangnya otentisitas, tak terkecuali penyair.

Kredo ‘keberanian’ Nurel (dan kelak kesadarannya sebagai pemberontak) melenyapkan kekhawatiran saya,  dan sebaliknya menyakinkan saya bahwa  Nurel katam membaca ‘Pemberontakan Metafisis” Albert Camus. Bahwa Seni adalah aktivitas pengagungan dan sekaligus pengingkaran, dan kemudian Camus menyitir Nietzsche. “Tak ada seniman yang dapat menerima kenyataan.” [7]Jelaslah, kredo ‘keberanian’ dan kemudian pemberontak justru mengukuhkan dirinya sebagai seniman.

Saya kutip sepenggal sajaknya berjudul Nietzsche, Aku Tetap Diet

 

I

Nietzsche, obor apa kau nyalakan

Hingga kerajaan jiwaku lebur

Bersamamu aku jadi abu[8]

….

XXX

Aku bukan penyair tergantung konstuksi kata-kata,

Apa kau kira sebuah bangunan memang benar?

Bukannya juga kau lihat, sebagian atap kubocorkan

Kunang-kunang perbaharui ruh cahaya

Bukan bentuk, lebih ke aroma sentausa[9]

Maka sebenarnya dengan senjata Camus dan Nietzsche, ‘keberanian,’ ‘pemberontakan’ serta gairah ‘menghadapi’ hidup agar lebih agung, persis Nurel menyoal kemerdekaan, kebebasan, otentisitas—hanya dirinyalah seorang Nurel dan tak ada Nurel lainnya, sebagaimana dalam bahasa Chairil Anwar ‘aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.’

Adapun energi untuk itu semua adalah kecemasannya, kesendiriannya, suasana hatinya yang paling mendasar.  Dalam bahasa F Budi Hardiman, “Dalam kecemasan aku menemukan bahwa aku adalah kemungkinan-kemungkinan di masa depan.”  Nurel di kemudian hari, dengan cukup pelik menghayati situasi yang memang sangat rohaniah ini dengan penjelasannya melalui ‘ruh kesadaran.’

***

DALAM pengakuannya, Nurel sejak kecil telah diberikan cinta padanya oleh buyutnya, Kasipah sebentuk dongeng; Kisah Kuda Sembrani alias Kuda Terbang.  Kuda Sembrani adalah kisah binatang dalam mitologi/ legenda masyarakat Nusantara yang menggambarkan seekor kuda bersayap yang mampu terbang dengan sangat berani. Dalam kisah pewayangan, Kuda Sembrani adalah kuda tunggangan Batara Wisnu. Kuda Sembrani mirip Pegasus dalam mitologi Yunani.  Sementara menurut hikayat rakyat Jawa, Kuda Sembrani merupakan alat transportasi bagi raja, ratu dan senopati yang konon menurut cerita bila bepergian selalu menggunakan kuda Sembrani agar dapat dengan mudah dan cepat sampai di tujuan.[10]

Kuda Terbang identik dengan dunia mistik.

Dengan kata lain, mistiklah yang mula dikenali Nurel, sejak telinganya sanggup mendengar dan yang membangun kesadarannya kelak di kemudian hari. Dugaan saya, dongeng Buyut Kasipah kisahnya lebih cenderung versi Jawa-Islam ketimbang versi Nusantara, terlebih Mitologi Yunani. Maka, itulah yang membekali diri Nurel ketika nyantrik pada Ki Suryanto Sastroatmodjo, ahli Jawa di Yogyakarta, seorang yang kemudian menjulukinya Penyair Burung Sembrani, boleh jadi selepas Nurel menulis  buku berjudul Sayap-sayap Sembrani.

Meski seiring waktu berlalu, pada kenyataannya pertemuan saya dengan Nurel tidaklah memantaskan saya untuk tahu mendalam hal-hal pribadi, keseharian Nurel. Sedikit sekali, bahkan dari yang sedikit itu sebagaimana tersebut di atas lebih banyak berupa dugaan-dugaan saya. Di luar pengakuan-pengakuan pribadinya, pengetahuan saya lebih banyak dipasok oleh sahabat-sahabat Nurel dalam lingkaran Kostela—Komunitas Sastra dan Teater Lamongan: Mas Herry Lamongan, A Syauqi Sumbawi, Mas Bambang Kempling, Pak Pringgo HR, Agus Nur Buchori, Javed Paul Syatha. Intensitas saya yang masif dengan Alang Khoirudin—dan kemudian saya menjadi bagian dari Kostela—menyebabkan gambaran latar pribadi Nurel lebih lengkap dari cantrik pertama Kostela tersebut, baik di Lamongan maupun dalam lingkup pergaulan di Yogyakarta.

Salah sebuah di antaranya, bahwa Nurel (melalui Pustaka Pujangga), dan kemudian juga Alang Khoirudin (dengan Pustaka Ilalang) adalah sosok yang babat alas dan militan di sebalik masifnya penerbitan buku di Lamongan.

Selanjutnya, salah sebuah di antara lainnya, lebih dari sekadar fakta; bahwa seperti halnya Chairil Anwar, Nurel berasal dari keluarga yang berada—kenyataan yang tak biasa bagi yang menerjuni sastra dan kesenian pada umumnya, di mana pun tempatnya. Ayahnya seorang guru dan ibunya berdagang di pasar. Konon telah sejak lama bangunan toko milik orangtua Nurel adalah yang terbesar di sekitar kampungnya. Sebagai sulung dari keluarga yang kaya, perihal kebaikan-kebaikan Nurel, keikhlasannya berbagi, penghargaannya pada siapapun teman tanpa terkecuali—yang tentu saja sebagian besar mereka yang kekurangan, sudah banyak diceritakan hampir setiap yang mengenalnya baik. Bahkan cerita-cerita tersebut nyaris mendekati mitos. Damhuri Muhammad, misalnya, menuliskannya Nurel sebagai ‘malaikat penyelamat kami.’ Sementara Binhad Nurrohmat mengakui Nurel lebih mapan dengan merk rokok dan sepeda motornya yang berkelas.  Dalam Asal-usul sajak Air Zam-zam Bagimu, Nurel sendiri mengungkap sebagai penulis yang pernah ke Tanah Suci. Artinya, secara ekonomi setiap yang pernah ke Tanah Suci terang berada jauh di atas garis kemiskinan.

Memang latar semua jenjang pendidikan Nurel berbasis penguatan agama, sejak Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar, Jombang, Darussalam Muntilan, Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari, Ponorogo. Diakui, kelak hal ini berpengaruh pada pandangan dunia kepenulisannya atas sajak-sajak dan esai-esainya. Tentu daya tarik tersendiri bagaimana Nurel mengoplos pandangan dunia yang katakanlah ‘sekuler’ dengan ‘religius-agamis.’ Namun, apapun itu, di pesantren Nurel menemukan semacam titik balik, atau barangkali serupa hidayah dalam kepenulisan, ketika terbit kesadarannya, waktu nyantri di Denanyar, Nurel diam-diam mengamati pengasuhnya KH. A. Aziz Masyhuri yang jarang tidur. Sebagian besar waktunya digunakan membaca kitab, mengajar, menulis karangan, beribadah dan menulis buku. [11] Pada sisi yang lain kesadaran Nurel demikian terbuka selepas membaca buku Ilmu dalam perspektif,  karya Jujun S. Suriasumantri.

Hampir bisa diduga otodidak menjadi pergulatan Nurel selepas waktu-waktu itu, sebelum bertemu dengan sejumlah kawan di lingkungan pergaulan Yogyakarta serta nyantrik pada KRT. Suryanto Sastroatmodjo. Dalam ‘pengasingan’ inilah sejumlah bukunya terbit dan sederet komunitas menghidupi dan hidup bersamanya.

Dalam epilog buku ‘Senarai Pemikiran Sutejo’ Nurel sebagai salah satu penyusunnya, menulis pengakuan yang dibuatnya pada November 2012; ..batin tengah dirajam bau-batu putus asa. Hal ini mengingatkan beberapa tahun lalu, masa silam pernah mengalami perihal demikian kering melanda. Dalam jurang keterpurukan, sukma menarik-narik pekabutan keberuntungan entah apa wujudnya, seiring berharap keajaiban…[12]

Boleh jadi, inilah masa-sama suram Nurel, seturut dengan pendapat Alang Khoirudin bahwa kepercayaan yang besar dari orangtuanya, juga istrinya (setelah Nurel berkeluarga) kemudian menjadi titik balik yang menempatkan Nurel dalam kondisi terpuruk. Nurel gagal berumah tangga, meski telah dikaruniai seorang putra. Kepercayaan yang besar dari orangtua dan istrinya, yang berarti berpadu dengan kebebasan, kemerdekaan diri yang ditempuh Nurel, menjadi muara dari segala keterpurukan Nurel.

Saya yang menjadi penafsir, dan Nurel yang menjalani takdir agak sulit menilai apalagi merinci kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahannya, sekalipun itu fakta. Yang tampak jelas hanyalah ikhtiar yang kukuh pada kemerdekaan di satu sisi, dan kompromi-kompromi mempertahankan hidup pada sisi yang lain. Seolah-olah Nurel tengah memperjelas dirinya, kehidupannya yang misterius. Kompromi adalah kesia-siaan bagi seekor ‘binatang jalang’  sekalipun punya pasangan. Periode Nurel di Ponorogo boleh dikata penjelasan dari kekalahan-kekalahannya, meski tak berarti hal itu menghentikan pencariannya. Pengharapan Nurel pada ‘keberuntungan’ dan ‘keajaiban’ setidaknya semacam refleksi atas keterasingannya, kesepiannya, kegelisahannya, dan tentu saja kekalahannya.

Tampaknya ‘keajaiban’ pula yang menuntunnya dari kepercayaan kepada keyakinan akan hal-hal ‘kegaiban’ yang semula telah dicetuskan dalam sajak-sajak yang terkumpul dalam Kitab Para Malaikat (Pustaka Pujangga, 2007). Nurel menulis: Ruh bergetaran ketika kelepakan waktu di bulu-bulu lembut juga tegas pada sayap malaikat, mendekatlah cahaya meneguhkan agar kempulan ini berpegangan bersebutan Kitab Para Malaikat. Setelah itu daku melanjutkan kembara, menapaki jalan sudah ada, menanjaki bukit menaiki gunung lalu bertemu pantai, bibir samudra kemungkinan (Rahmatullah).[13]

Coba cermati deret kalimat ‘menapaki jalan sudah ada’ dan ‘bibir samudra kemungkinan’.  Kalimat-kalimat tersebut  dapat dijelaskan secara filosofis, filsafat eksistensial. Sekaligus dengan kata lain, kutipan tersebut memperlihatkan jalan mistik Nurel yang dibangun di atas mitos Kuda Terbang (bersayap), bergerak ke arah entah.

***

ANDAIKATA kutipan Nurel tersebut saya lanjutkan, ‘menapaki jalan yang sudah ada’ hampir pasti bagi saya tafsir terhadapnya bakal memasuki wilayah agama dan pembicaraan perihal masa depan. Dalam bahasa Nurel berupa ‘menjernihkan mata batin yang hasil tingginya kesungguhan merawat kelestarian alam dan selalu mengharap ridho Allah Swt.[14]  Pendek kata inilah tujuan hidup Nurel yang telah dipastikannya, jalannya pun telah ditentukan oleh para pendahulunya.

Suatu keteraturan hidup. Sebuah absurditas baru (kontradiksi dalam dirinya) sebagai seorang yang semula absurdis eksistensialis pemuja Albert Camus. …pemberontak metafisik secara definitive bukanlah seorang atheis, seperti dipikirkan orang selama ini, tetapi tak dapat disangkal bahwa memang ia adalah seorang pengutuk Tuhan.  Cukup sederhana memang, pertama ia mengutuk atas nama keteraturan, mencela Tuhan sebagai ayah kematian dan sebagai kejahatan tertinggi.[15]

Terus terang ini pertanyaan besar saya sebagai penafsir takdir Nurel.

Saya coba rekonstruksi kembali bahwa judul besar “Takdir Terlalu Dini” yang dimaksudkan Nurel rupanya bukan sekadar perihal suatu keberanian menghadapi ‘keteraturan’ melainkan memiliki dasar filosofis yang subtantif eksistensial manusia yang bersumber dari pemikiran Jean Paul Sartre. Saya memahaminya dari uraian Arief Budiman tentang gagasan filosof besar itu atas bentuk eksistensi terbuka; etre-pour-soi.[16]  Bentuk eksistensi yang retak. Karena itu dia dapat melihat ke luar dan ini artinya dia memiliki kesadaran, kesadaran bukan saja tentang dunia luar tapi juga kesadaran tentang dirinya sendiri. Dia sadar bahwa dia sadar. Dia sadar bahwa dia memiliki kesadaran.

Lebih lanjut Arief menguraikan bahwa kesadaran akan dirinya sendiri sebenarnya adalah pengingkaran akan dirinya sendiri juga. Dia meretakkan ke-ada-annya yang sekarang, yang tadinya rapat tertutup, karena dengan menyadari dirinya dia mempertentangkan ada-nya dengan kemungkinan yang lain. Konkretnya, pada eksistensi binatang, alam sudah menyiapkan segalanya, seakan ada kerjasama sudah dipersiapkan segalanya dalam perut ibu, dan bayi binatang tak akan keluar sebelum semuanya sempurna dikuasai.  Sementara pada bayi manusia, dia lahir sebelum bisa berbuat banyak. Bayi manusia lahir terlalu cepat. Takdirnya terlalu dini. Maka manusia harus belajar, melihat banyak kemungkinan, menghadapinya dengan perasaan-perasaan asing.

Inilah dalam bahasa Nurel pada buku Kitab Para Malaikat yang terbit enam tahun kemudian disebutnya sebagai ‘bibir samudera kemungkinan.’  Sedang dalam buku Balada Takdir Terlalu Dini, Nurel menggambar retakan-retakan itu sebagaimana bangunan rumah yang sengaja atapnya dibocorkan. Kutipannya berikut ini;

XXX

Aku bukan penyair tergantung konstuksi kata-kata,

Apa kau kira sebuah bangunan memang benar?

Bukannya juga kau lihat, sebagian atap kubocorkan

Kunang-kunang perbaharui ruh cahaya

Bukan bentuk, lebih ke aroma sentausa [17]

Dapat dikatakan, mula penyebutan diri Sang Pengelana, tak lain adalah pengembaraan, kesadaran pada keharusan belajar, kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Bahwa manusia adalah pengembara yang asing terhadap dunia sekelilingnya. Maka kemerdekaan, kebebasan dalam kesendirian adalah panglimanya. Pada setiap dari kita, manusia dihadapkan pilihan memilih kebebasan ataukah tidak. Karena hal ini terkait dengan kesadaran memerdekakan diri, kelak Nurel meneguhkan dirinya melalui buku yang berjudul Trilogi Kesadaran.

Nurel memproklamirkan diri Sang Pengelana, adalah pilihan memerdekakan diri, menemukan dan menjadikan dirinya sendiri dengan resiko-resiko tanggungjawab sendiri pula.  Artinya, Nurel telah memilih, sementara bukankah kita tak sulit menjumpai dalam  kehidupan sehari-hari, kebanyakan manusia takut, ragu, atau sulit memutuskan untuk hidup sebagai dirinya sendiri? Kebanyakan orang adalah pengikut, penganut, pengagum, pengekor, menjadi manusia sebagaimana kebanyakan orang. Dengan kata lain, begitulah kebanyakan orang tak memiliki kesadaran otentisitas sebagaimana Heidegger maksudkan waktu otentik, momen eksistensial.[18]

Dia yang otentik adalah yang merenungkan ke-Ada-annya, dan cemas. Ketika menjadi otentik memang menjadi sangat individual-personal. Memang momen-momen eksistensial yang cemas itu sangat jarang terjadi, bagaimana di tengah keseharian menemukan penerangan eksistensial, namun yang bukan menunggu,  melainkan yang selalu mengantisipasi, mendahului.

Akan tetapi Heidegger mengingatkan, seorang yang terus merenungkan Ada-nya, selalu cemas, dan menarik diri dari “keseharian pada umumnya”[19] tidak akan tahan hidup dan tidak mungkin ada, karena otentisitas tidak berdiri di luar keseharian, melainkan tumbuh darinya.

Cara bereksistensi Sang Pengelana, adalah bukan cara bereksistensi kebanyakan orang—yang menolak kemerdekaan. Namun demikian boleh jadi periode krisis Nurel ketika masa-masa di seputar keberadaannya di Ponorogo adalah sinyalemen Heidegger “tidak akan tahan hidup” bilamana terus berlanjut hingga puncak krisisnya. Apakah dengan demikian, pada diri Nurel ada benih-benih penolakannya pada kebebasan, kemerdekaan?  Entahlah, pada kenyataannya, Nurel belum mati, pada waktu itu dan melanjutkan hidup.[20] Hidup yang menyadari bahwa dirinya hidup.

Mari kita tengok kembali perihal bagaimana Nurel, menggambarkan kesadaran dirinya layaknya bangunan rumah yang atapnya dibocorkan sendiri olehnya. Saya kira ini sebangun dengan bagaimana Sartre berbicara tentang retakan dan pengingkaran. Bahwa kesadaran ‘meretakkan’ juga berarti mengingkari: mengajukan pertanyaan pada sesuatu yang disadari. Bahkan pertanyaan-pertanyaan kesadaran tertuju pada keraguan akan ada pada ketiadaan.  Manusialah yang mengadakan sesuatu (membuatnya ada), walaupun sebetulnya segala sesuatu itu ketiadaan, juga dirinya sendiri.

Ikhtiar Nurel di seputar hal ini terlihat dari nukilan sajaknya yang—sialnya, atas nama kemerdekaan, otentisitas, serta kesadaran seorang pengelana, pembelajar—sebagian besarnya sulit dimengerti orang kebanyakan (terlebih yang lenyap kemerdekaannya).  Sejumlah misal dari Balada Takdir Terlalu Dini;

VIII

Bunga bunga berguguran

Sisakan harum di tanah kelahiran,

Menuju purna kering keemasan

Lalu menjelma humus keabadian

Aku di dasar sana kekasih

Bersama dirimu…yang tak kelihatan.

XIII

Seekor semut menyeret bayangan

Merayap-rambat dekati cahaya

Kadang kekupu menggelepar, lelah ditelan ketiadaan

Memancar pudar kunang-kunang

Pada kekhusyukan sujud

XIV

Asing baginya, dunia

Seluruh penglihatan terhitung ganjil,

Menggelantung benang-benang

-antara tiada dan ada—

Waktu sadar, serentak tergerak cinta[21]

Bahasa puisi Nurel menyerupai mantra filosof yang ekstase—barangkali ini yang membedakannya dengan mantra Sutardji Calzoum Bachri. Bila pada Sutardji dimaksudkannya sekadar bunyi tanpa pesan, sebaliknya mantra Nurel adalah justru bukan tanpa pesan. Tepatnya, bukan tanpa pesan pada sembarang orang. Bahkan, wajar bilamana,  setidaknya pada saat ini, tak seorangpun yang sanggup menangkap pesannya terlebih bila tak punya kemerdekaan dalam kesendiriannya.   Oleh karena itu, andai sajak-sajak Nurel disebut sajak ketiadaan-untuk-yang-sesungguhnya-tiada, saya kira sah pula.  Maka, pada titik ini, ada dasar ketika Imam Nawawi dalam tulisan  Sutardji dan Nurel dalam Kesusastraan Indonesia, berpendapat Nurel Javissyarqi bermazhab “Kalam,” sementara kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri bukan “Kalimah.” Tulisnya, dalam bahasa Arab, Kalimah tidak berkewajiban untuk “Mufid” (mengandung makna yang dapat dimengerti). Sebaliknya, puisi-puisi Nurel sekalipun gelap, tetap mengusung makna yang “Mufid.” [22]

Kesadaran pada ketidak-adaan (Nurel menyebutnya ketiadaan) dan kemerdekaan untuk mencipta sesuatu menjadi ada, membentuk diri dan dunianya (mendunia) adalah inti dari pengembaraan, kecemasan, keasingan, kesepiannya. Sebagaimana dalam kosa kata Heidegger terangkum sebagai momen otentik, antisipasi, momen visi (Dalam kecemasan aku menemukan bahwa aku adalah kemungkinan-kemungkinan di masa depan).

Demikianlah hingga pada saat Nurel menyatakan diri bakal ‘melanjutkan kembara, menapaki jalan sudah ada,’ saya khawatir bila yang dimaksudkan adalah jalan kebudayaan, yang menutup kemungkinan-kemungkinan, jembatan nilai-nilai yang telah tersedia matang sebagai mesin pencetak manusia instan sebagaimana masyarakat kebanyakan kini.  Jelas ini bukanlah pengembaraan. Dengan kata lain, pilihan kata Nurel mengandung contradictio ini terminis alias kekacauan istilah—suatu hal yang tak mustahil terjadi padanya.[23]

***

MEMANG ada kemungkinan kekacauan berbahasa, diksi dan metafora dalam sajak-sajak Nurel sehingga keliaran sering terjadi di sana-sini, dan tampak menyerupai sajak-sajak gelap.   Meski demikian, sebagai suatu kemungkinan lain, sajak-sajak Nurel lahir dan ditulis didasari suatu kesadaran tertentu—bahwa dengan kesadarannya, penyair adalah kemerdekaan, sebagaimana ia berharap pembacanya melihat begitu banyak kemungkinan.

Kesadaran apapun tak bisa menjelaskan secara gamblang misteri hidup, makna yang utuh dari subjektif orang lain (misal, hasil karya seni)  meski tetap harus merawat, memelihara hasrat untuk mengerti di hadapan rahasia absurditas tersebut. Spirit untuk terus memelihara, sonder menyerah, putus asa apalagi bunuh diri fisik dan rohaniah, inilah kesadaran. Bahkan ‘memberontak,’ terhadap absurditas adalah kredo setiap yang berkesadaran memperjuangkan kemerdekaan kreativitas.

Maka, pada sajak-sajak Nurel yang terjadi adalah: ditulis oleh seorang pemberontak. Seorang yang—meminjam larik Chairil Anwar—hidup hanya menunda kekalahan. Sajak-sajak yang ditulis dengan kesadaran demikian, sebagaimana hidup penyairnya, selalu luput dari kesempurnaan pengertian, senantiasa tertunda dalam pemaknaan. 

Konon inilah salah sebuah ciri dekonstruksi,[24] yang padanya, jiwa pemberontak, ruh kesadaran menyebabkan seseorang memberontak, menggugat, dan memeristiwa dalam dekonstruksi.  “Kesadaran itu kekuasaan terbangun, berlangsung bagi naluri, berkembang dari sekumpulan pertanyaan dan ruang kosong penentu pijakan,” tulis Nurel di buku Trilogi Kesadaran (Pustaka Pujangga, 2006) halaman 315.[25] 

Sajak-sajak Nurel lahir dari pertanyaan, mungkin juga pertanyaan itu sendiri dan bukanlah sebuah jawaban. Dengan kata lain lahir dari peristiwa momen puitik, dan akan menjadi peristiwa lain bagi pembaca. Sajak adalah peristiwa demi peristiwa, rentetan peristiwa yang selalu menolak dihentikan, ditaklukkan. Keberadaannya tak lain demi memunculkan kemungkinan-kemungkinan makna. Oleh karena itu menuntut untuk memahami sajak-sajak Nurel, justru menerbitkan pertanyaan dan pernyataan lain, bahwa menangkap suatu makna, justru menangguhkannya sekaligus memunculkan kemungkinan pemaknaan lain.

Pun demikian tak terkecuali dalam ikhtiar pemaknaan pada tulisan ini.

Pada titik ini saya tak bermaksud menangguhkan atas pengertian semua yang saya tulis, dan saya tafsirkan perihal teks-teks dan peristiwa di seputar takdir Nurel sejak peristiwa perjumpaan hingga momen takdir kematiannya.  Justru saya hendak menegaskan, pengalaman dan pengetahuan saya sendiri bergaul dengan sejumlah pemikiran yang melahirkan minat, pengamatan dan berbagai tafsir saya atasnya.

Bermula dari misteri, mistik, absurditas, kemungkinan-kemungkinan untuk menolak penyeragaman, bahwa teks bukan hanya pengalaman bersama, kesan dan pesan, perbuatan baik, aktivitas-aktivitas pembacaan, pendokumentasian, konteks-konteks, melainkan juga aktivitas menulis, tulisan, sajak-sajak, esai, kredo.

Tidak ada yang bebas teks, semua adalah teks. Begitu ungkapan terkenal Jacques Derrida, tentang dekonstruksi karena dekonstruksi adalah peristiwa pembacaan (penafsiran, pemaknaan, pemahaman) yang menolak, memberontak pemaknaan tunggal-utuh. Dekonstruksi justru menerbitkan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan sekaligus menunda makna yang telah dicapainya. Dekonstruksi tak sesederhana menemukan pengertian baik-buruk, benar-salah, meski yang diminatinya adalah yang tak biasa, yang remeh, yang diabaikan oleh kebanyakan orang—yang oleh sejarah dibuktikan sadar maupun tidak, hal ini karena pilihan-pilihan tak merdeka.

Dekonstruksi meminati masuk sejarah, menjadi bagian dari sejarah, bahkan sejarah itu sendiri untuk menjadi yang tak biasa, menjadi pemberontak. Tepatnya menjadi pemberontak yang absurd di dunia yang segala sesuatunya absurd pula. Dunia yang mengandung banyak kontradiksi dalam dirinya. Dunia yang baik keadaan maupun ketidakadaan-nya sepenuhnya diciptakan manusia. Dunia yang melemparkan manusia dalam penderitaan Sisifus. Dunia yang sepertinya hanya dimengerti oleh Camus dan Nietzsche. Nietzsche-lah yang mengonstruksi sebuah filsafat tentang pemberontakan, sementara Camus yang merumuskannya. [26]

Dalam pengalaman absurd, derita itu bersifat individual. Tetapi saat pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai sesuatu penyelamatan kolekstif .[27] Mula-mula seorang pemberontak mengutuk atas nama keteraturan, pada suatu titik kemudian mencela Tuhan sebagai kejahatan tertinggi, tuan dari penguasa jagad kematian.  Dalam hal ini secara radikal, pada manusia agungnya Nietzsche, ditegaskan menolak (memberontak) adalah tugas dunia sekitarnya, sementara mencipta adalah tugas manusia unggul. Dan hasil-hasil cipta hanya mungkin terjadi dalam kesunyian yang paling ekstrem.

Sebagai pemberontak, Camus menyebutnya ‘dunia tanpa Tuhan.’  Katanya, seni bersekutu dengan keindahan dunia ini dan seisinya yang menentang kekuatan-kekuatan kematian dan kefanaannya. Demikianlah maka pemberontakannya itu kreatif.[28]  Pendahulunya, Heidegger malah mengunci agama—sebagai jalan menuju Tuhan—adalah pelarian kecemasan. Tepatnya, pelarian dari seseorang yang merasa kehidupan sehari-harinya tidak bermakna; mengapa ada di dunia, mau kemana, untuk apa, apa makna hidup.

Ketika menjadi otentik, merenungkan ke-ada-annya dan cemas, adalah menjadi sangat individual, maka puncak dari otentisitas adalah kematian. Kematianlah yang paling pribadi, sekalipun dalam hidup ada kematian, dan bicara kematian adalah bicara kehidupan. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah larik sajak Sutardji Calzoum Bachri ‘maut menabungKu segobang segobang.’  Pendeknya, betapa penting kematian bagi kehidupan.

Maka sebetulnya sebagaimana kelahiran, manusia tidak lahir atau mati hanya sekali. Manusia bisa mengalami kelahiran atau kematian berkali-kali dan tergantung kesadarannya. Manusia bisa mengalami mati berkali, yakni kematian sebagai sesuatu yang datang bagi dirinya berupa hilangnya segala kemungkinan-kemungkinan. Meski demikian kematian bisa pula berarti hilang sekaligus terpenuhinya segala kemungkinan.

Begitulah saya kira, kematian Nurel sudah disadarinya, telah direnungkannya sebagaimana kesehariannya lelaki itu merenungkan kehidupannya. Sebagai kemungkinannya sendiri yang paling otentik. Dia hanya satu, sekaligus begitu banyak kemungkinan ada padanya, sepanjang hidupnya membuka diri terhadap kematiannya sendiri.

Begini, tulisnya;

Kematianku tak menentu,

Kesepian dari keramaian bumi;

Yang jempalitan menilai karya,

-hingga kubosan mendengar mereka

(para speculator di jaman pancaroba[29]

                                                                                                                                

Ngimbang, 20 September 2021

 

Catatan:

[1] Pada pertemuan ini pula untuk kali pertama, saya bisa berkenalan dengan lebih banyak kawan dari Lamongan, termasuk Mas Herry Lamongan. Dengan Mas Herry, meski telah lama sebelumnya, saya membaca karyanya saat di Surabaya, pada kesempatan itu baru kali pertama saya berjabat tangan dengannya—dan saya mendapatkan darinya buku buku kumpulan puisinya Surat Hening.

[2] Lihat Nurel Javissyarqi, Balada-balada Takdir Terlalu Dini, Pustaka Pujangga, 2006, hal. iii

[3] Ibid, hal. viii

[4] Ibid, hal. 1

[5] Seorang Yahudi dalam cerita Injil yang menolak Yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi, tidak perna punya tempat tinggal seumur hidupnya.

[6] Seorang tokoh legenda Yunani, yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak sebuah gunung, tempat Zeus selalu menendang batu tersebut begitu sampai padanya. Sisifus abadi mendorongnya kembali.

[7] Lihat Albert Camus, Pemberontak, Terjemahan Max Arifin. Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya.

hal. 468.

[8] Nurel Javissyarqi, Op.Cit, hal 76

[9] Nurel Javissyarqi, Op.Cit, hal 82

[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_Sembrani

[11] Keterangan ini saya kutip dari tulisan Nurel di buku Senarai Pemikiran Sutejo, Menyisir Untaian Kata Menemukan Dawai Makna, hal. 905. Buku kumpulan tulisan Dr. Sutejo, yang disusun Masuki M. Astro dan Nurel Javissyarqi ini memiliki ketebalan hampir 1000 halaman. Diiterbitkan Pustaka Felicha, Yogyakarta, Januari 2013.

[12] Ibid, hal. 903

[13] Lihat tulisan Keterangan Kitab Para Malaikat, dalam buku  Antologi Puisi Nurel Javissyarqi Kitab Para Malaikat, Hal.127

[14] Ibid, hal. 127

[15] Albert Camus, Op.Cit, hal. 41

[16] Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Pustaka Jaya 1976, Hal 31-32.

[17] Nurel Javissyarqi, Balada-balada Takdir Terlalu Dini, Pustaka Pujangga, 2006, hal. 82

[18] Lihat F Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG 2016, hal 93

[19] Ini adalah cara bereksistensi dari kebanyakan orang, dalam istilah Heidegger, Das Man.

 

[20] Nurel yang memiliki nama asli Nur Laili Rohmat, dan memiliki nama pena Nurla Gautama serta Nurel Javissyarqi meninggal pada sekitar pukul 07.00 wib, 7 September 2021 di kamar dalam pelukan istri tercintanya. Laptop masih dalam kondisi menyala sehabis mengerjakan aktivitas di dunia yang bagian terpenting dalam hidupnya; mengarsip karya-karya para penulis negeri ini, puisi, esai, makalah, catatan, hasil diskusi, prosa, dan lain sebagainya tulisan-tulisan seni budaya yang semula bertebaran di jagad maya ke dalam website pribadinya; https://sastra-indonesia.com/. Tidak ada penjelasan pasti penyebab meninggalnya lelaki kelahiran Kendal-Kemlagi Karanggeneng, Lamongan 8 Maret 1976 tersebut.

[21] Nurel Javissyarqi, Op.Cit, hal Hal.54-55

[22] https://sastra-indonesia.com/2020/03/sutardji-dan-nurel-dalam-kesusastraan-indonesia/

[23] Dalam hal kekacauan semacam ini saya pernah saling bersikukuh pendapat dengannya, yang bermula dari entah itu anomali bahasa, ataukah pengertian yang paradoks, ketika menanggapi sebuah statusnya di facebook, pada 20 April 2020. Tulisnya: Hari tadi dapat tawaran (kemungkinan) menerima penghargaan dalam bidang sastra dari dinas tertentu di Jatim, dan terus terang saya tolak, karena sepertinya tak mampu menghibur diri saya.

Saya bernada sinis coba mengusik dengan komentar; Kak nurel ini energinya besar ya? Menolak kemungkinan itu maksudnya bagaimana? Status ini mengada ada. Bukan soal penghargaannya. Saya kuatir Tuan Nurel sebetulnya sedang tidak menghargai dirinya sendiri. Saya lebih kuatir ini gambaran tinggi hatinya Tuan Nurel. Tinggi hati pada sesuatu yang sebetulnya kecil, atau mungkin sesuatu yang malah tidak ada. Tidak ada penghargaan itu jika dalam bentuk ‘tawaran.’

Jawaban Nurel tak kalah sinisnya, bahkan berpanjang-panjang, dengan melibatkan banyak orang, yang pada intinya, ternyata yang dimaksud Nurel bukanlah Penghargaan sebagaimana pernah saya terima sebelumnya dari Gubernur Jawa Timur (2015) berupa piagam dan uang Rp 10 juta, melainkan pemberian uang apresiasi dan sembako senilai total sekitar Rp 1,5 juta yang diberikan tiap tahun 500-an pelaku seni.  Tidak jelas apakah Nurel benar-benar ditawari uang apresiasi tersebut, namun terang dia menyatakan penolakannya.

Setelah berbagai reaksi berikut berbagai nada, menurut saya penjelasan dan semacam penengah sekaligus penutup dari perdebatan tersebut adalah komentar sastrawan Aguk Irawan Mn. Tulisnya; Menurutku, lebih baik diumumkan dulu, baru kemudian sudah jelas, baru ambil sikap. Kàyak Eka Kurniawan kemarin oleh Diknas, begitu diumumkan, pas penganugerahan tidak datang dan (lalu) membuat statemen pendek, alasan tidak datang. Sangat elegan.

Ingatan dalam catatan ini sekadar menyoroti bagaimana Nurel menginterpretasikan perihal ‘kemungkinan’ serta bagaimana pada dirinya ada kemungkinan-kemungkinan pula kerap mengalami anomali bahasa, juga paradoks-paradoks berpikir melalui bahasa.

[24] Saya memahami dekonstruksi dalam perbincangan ini melalui F Budi Hardiman, Seni Memahami, Kanisius 2015 hal. 273-306

[25] Bandingkan dengan pendapat Sartre, sebagaimana disitir Arief Budiman tentang kesadaran yang meretakkan, juga berarti mengingkari. Tulisnya; “Menyadari adalah sama dengan mengajukan pertanyaan pada sesuatu yang disadari.” Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Pustaka Jaya 1976, Hal 38.

[26] Lihat Albert Camus, Op.Cit., Hal 127.

[27] Ibid hal 37

[28] Ibid, hal 496-497.

[29] Nurel Javissyarqi, ibid, hal 90

S. JAI Lahir di Kediri, 4 Februari 1972.  Pemerhati dan penikmat karya sastra ini juga pengarang sejumlah novel—diantaranya, Tanah Api (LKiS 2005); Tanha—Kekasih  yang Terlupa (Jogja Media Utama 2011);  Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012, Diva Press);   Kumara—Hikayat Sang Kekasih (DK Jatim, 2013). GURAH (Pagan Press 2015) dan yang terbaru Ngrong (Pagan Press, 2019). Pemenang Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jatim (2010), Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012), Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019).  Kini tinggal di dusun Tanjungwetan, desa Munungrejo, Kec. Ngimbang, Lamongan.  Telp 081-335-682-158

Nurel: Tafsir dan Takdir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Tabik, sudah menghubungi kami. Silakan chat lebih lanjut