Rumah di Atas Air
Cerpen S. Jai
ORANG-ORANG sulit percaya akan sesuatu hal. Entah itu karena paham, entah lantaran tak mengerti. Mereka cepat sekali meyakini; segala urusan manusia berujung tetek mbengek dagang sapi.
Tersebab itulah kuceritakan padamu setangkai kisah yang barangkali tak kan dipercaya siapapun; tentang sebuah rumah di atas air; perihal suatu keluarga yang bermukim di danau berkabut sepanjang masa, yang anteng—tanpa pulau, tanpa biduk, tanpa tepian. Airnya sejuk, kecipaknya sekadar petanda ada yang datang, mungkin ikan, barangkali seseorang.
Di rumah yang terapung di atas air itu, berdiam seorang lelaki tua dan istrinya yang menghikmati kesunyian, keheningan. Wajahnya bersih, tiada hari tanpa senyuman. Bila siang mentari menemani, bila malam rembulan dan bintang menabur terang.
Seperti cerita ini, hidup sepasang lelaki dan perempuan senja itu tak satupun yang dipercaya. Bahkan mungkin tak seorangpun melihatnya, mendengarnya, menikmati keadaannya kecuali sejoli itu sendiri. Dalam kedamaiannya, jendela dan daun pintu dibiarkannya lebih lama terbuka daripada ditutupnya—utamanya manakala hawa dingin menyergapnya. Kupu-kupu di pagi hari, kunang-kunang di tengah malam bagai segerombolan murid mendaras bacaan-bacaan suci, mendatangi rumah itu lewat jendela dan pintu.
Rumah itu begitu bercahaya di tengah danau berkabut sepanjang masa.
Terkadang binatang-binatang serangga, juga ceracau beburung menemani lelaki tua dan istrinya itu saat membersihkan teratai, ganggang atau berkebun menabur biji-biji makanan ikan. Berkebun? Benar, mereka berkebun di atas air. Hidup telah mengajari mereka demikian. Bila matahari telah tinggi, atau angslup, dan kediamannya berangsur berselimut malam, saat beristirahat mereka membaca doa, bernyanyi atau mendengarkan jula-juli.
Ya, doa, nyanyian dan kidungan sebagaimana diperdengarkan putranya saban kali pulang ke danau itu.
Sepasang lelaki tua itu Dionisius, dan Genoveva. Lalu, sang putra yang kerap dikisahkannya tanpa kepercayaan siapapun itu adalah Petrus. Mereka manusia-manusia yang muskil dipercaya pula asal-usulnya sebagai ‘bukan manusia biasa.’
Dionisius. Dialah dewa pertunjukan, dewa musik pengusir rasa jeri, dewa mabuk pemuja jiwa yang mampu bicara dengan yang telah mati. Konon dialah putra Zeus dari rahim ratunya dunia orang mati.
Genoveva, sang istri. Pun kehadirannya tak mudah dipercaya. Dalam bahasa Peringgi, dialah pemilik trah hantu putih dan legenda seorang ratu ternama nan serba bisa.
Lantas, Petrus. Tak dipercaya pulakah dia? Penjala ikan itu, pemetik gitar itu, pendendang itu, pencipta nyanyian-nyanyian itu, juga pelantun doa-doa khusyuk itu, si batu karang itu. Dialah lelaki yang telah menari-nari di atas air? Ia selalu pulang tanpa dayung dan sampan, namun tiba-tiba menyergap lewat pintu belakang sambil mengejutkan serangga dan kupu-kupu, juga tentu saja ayah dan ibundanya.
Ia telah lihai menari semenjak seseorang menghampirinya dan berkata, “Mari, ikutlah aku, dan kamu akan kujadikan penjala manusia.” Mula-mula lelaki penjala ikan itu berjalan sempoyongan oleh karena takut tenggelam saat kali pertama berjalan di atas air, namun semenjak seseorang yang memanggilnya, lalu menuntun langkahnya, Petrus menjadi makin cekatan dan kini bagaikan menari dalam kecipak langkah-langkahnya.
Mula-mula ia berperahu dalam menebar jala, lama-kelamaan tak perlu lagi. Mukjizat telah menyebabkan dirinya membawa pulang ikan-ikan dalam jumlah besar. Kelak ia mengerti manusia itu seperti ikan juga. Kelak ia memahami dunia jungkir balik, tentang orang-orang yang tak memiliki kepercayaan betapapun benar dan nyata telah diperbuatnya. Bahkan kelak banyak orang tahu, meski banyak orang kemudian pura-pura tidak tahu; Petrus tidak dikehendaki segala hidupnya. Petrus dilenyapkan. Petrus dihilangkan.
Benarkah Petrus hilang? Entahlah. Bukankah tak ada yang benar-benar hilang dalam ketiadaan ini? Tidakkah hilang itu suatu bukti keadaan?
Apapun itu tak bisa dipungkiri, telah banyak orang yang kehilangan; kepercayaan, harga diri, cinta kasih, waktu, imaji, muka, dan kehilangan arti. Bukan karena hilang telah menjadi tragedi, namun kehilangan itu sendiri adalah misteri, yang tersembunyi, yang tak pernah ada lagi. Ketika manusia itu seperti ikan juga, yang sesungguhnya hilang adalah kemanusiaan yang suci, bukan karena tak ada. Melainkan sengaja dibuat tidak ada, agar yang murni melayang-layang seperti awan, jadinya.
Begitulah yang kalis dipalsukan, dikaburkan, diburamkan dengan harapan pada waktunya mulai dilupakan.
Lantas, apakah sesungguhnya yang asli, yang dihilangkan, yang tersembunyi dan tak tak ada—kemanusiaan itu sendiri—itu berarti tak ada makna? Tentu saja tidak. Yang keji adalah ketika orang tak diberi kepercayaan untuk memberi makna, yang bengis adalah saat orang tak boleh memaknai, ditolak memahami.
Juga kepadamu, tak boleh menghalang-halangi, menghentikan ceritaku tentang ia yang menikmati dan menghikmati segala urusan hidupnya di atas air. Kau boleh tak percaya. Kau bisa menyangkal. Toh ini hanyalah cerita. Kau boleh membantah tarian Petrus, meski ada beratus mungkin beribu kisah serupa.[1] Pasal guru Kiplik yang mengajarkan cara berdoa yang benar di sebuah pulau terpencil di tengah danau. Juga kisah seorang darwis yang taklid pada kaidah, saat menyusuri sebuah sungai mendengar suara debat kusir darwis-darwis lain di sebuah pulau tentang bacaan doanya yang sahih. Maka sang darwis yang teliti ini berperahu menuju asal suara dan membetulkan ucapan doa-doa mereka. Betapa takjub sang darwis tatkala para pendoa yang dianggapnya keliru terlihat berhumbalang berlarian di atas air sungai.
“Kami sudah tenang, damai. Kami sudah tak kehilangan. Kami sedang bersama-sama kini,” ucap lelaki tua itu di sela terduduk di kursi goyang dari rotan itu.
“Kami telah mengerti, kami memahami,” timpal perempuan pasangan hidup sepanjang hayatnya itu sembari menyeduh rempah jahe hangatnya.
Petrus hanya belum pulang dari menjala ikan. Bila dia kembali, selalu melewati pintu belakang, tanpa terdengar tempias air dari telapak kakinya, derak lantai rumah, derit engsel pintu. Tiba-tiba saja Petrus berada di dalam kamarnya yang penuh poster-poster musisi dunia; memetik gitar akustiknya, menyalakan tape recorder-nya, ngidung jula-juli Kartolo, atau mengenakan mantel panjang dan berkacamata hitam sambil meneriakkan ‘Moromo Romo Ono Maling,” atau Bangbang Tut.[2] Itu kebiasaannya di masa silam.
Ya, suatu masa lalu. Seperti saat masih hidup di daratan negeri Indonesia.
“Hai masa lalu. Jangan pergi dariku. Kawan-kawanku, musuh-musuhku, Jenderal-jenderal yang kupingnya merah, politisi-politisi temannya temanku, kawannya kawanku masih membutuhkan cerita perihal masa lalu itu,” begitu Petrus berorasi.
Datanglah wahai masa lalu, tak mengapa lewat celah-celah jendela dan pintuku. Masa lalu, sebagaimana masa depan, adalah hari ini. Datanglah. Mari kita berpesta. Mari kita saling mengkontaminasi, saling mencampuri urusan…
***
AKU mengerti walau itu tak pasti. Betapa kelembutanmu adalah ejawantah keanggunan ibundamu. Ketika kau menyeduh teh hangat untuk seorang gadis, lalu memijit punggungnya di tengah para buruh yang hendak berpesta keesokan harinya. Ada sepotong suara hatimu di sebalik kekerasan kemauanmu selain lagu-lagu ciptaanmu yang kerap dinyanyikan kelompok musikmu, selain kocaknya dirimu melambungkan guyonan pahit Kartoloanmu.
Bukankah semua orang berhak untuk menjadi pandai? Itu harus kita sadari. Itu harus kita pahami. Kita harus bertanya.[3]
Hei.. ada dengus napas Rendra di nyanyianmu, Petrus.
“Minum teh, jangan gering. Besok pesta besar. Kita pasti menang…” katamu kepada gadis yang seakan hendak memuntahkan seluruh isi garbanya, saat itu. Pesta yang kau maksudkan tak lain, pemogokan massal, orasi dan demonstrasi buruh-buruh pabrik di Tandes.
“Itu kekerasan. Ini benih revolusi,” kataku.
Ada yang ketakutan dengan kekerasanmu bersama kawan-kawanmu serta ribuan buruh waktu itu. Kekerasan yang berbuntut kekerasan lain dengan menangkapi kawan-kawanmu, serta memburumu. Engkau pasti tahu kekerasan itu mendapat arti yang baru, meski sesungguhnya telah arkaik: Buru, Bui, Bunuh. Siapa korban dan siapa pelaku? Bagaimana pelaku dan bagaimana korban?
Sejak itu, dalam pengejaran dirimu, kau memilih menyingkir ke pusat pusaran angin topan kekerasan, arus besar air bah kekuasaan. Dengan restu bapak-ibu berikut rupiah seratus ribu, bersama sekitar 35 remaja, tujuannya melawan tembok, menghajar beton. Menghadapi tentara, menghadang kekuasaan. Lalu melengserkan Tuan Yang Selalu Tersenyum, tetapi tangannya terbuat dari besi dan rajin mencucinya dari lumuran darah. Kau menyatu dengan tanah, api, batu, teror, rusuh, kudatuli, setan gundul, darah, dalang, pedang, senjata, mesiu, pentungan, tentara, polisi dan orang mati—karena dibunuh, dan yang berakhir dengan manifesto; nggak ada urusan.
Kalian pun punya manifesto: Gulingkan! Kobarkan Pemberontakan Rakyat!
Wow, selera humormu itu lho. Menakjubkan. Seperti sedang berbalas pantun. Eh, bertukar jula-juli. Pada saat perburuan padamu dan kawan-kawanmu sebagaimana perburuan atas binatang, betapa engkau dan kawan-kawanmu selalu siap bersantap pesta kambing guling. “Gulingkan Soeharto!” Lantas kalian siapkan nama-nama samaran dan telik sandi 12 bumbu resepnya: bawang putih, jahe, ketumbar, garam, minyak, kecap, kaldu bubuk, sambal kecap, bawang merah, cabe rawit, tomat besar, jeruk nipis, dan tentu saja air putih. Amboi, betapa indahnya hidup setelah menjalani keseharian sebagai binatang kecoak yang melata di tanah, lalu berbulan-bulan kemudian menjadi orong-orong di dalam gorong-gorong yang hidup di bawah tanah. Begitulah kelak di suatu hari engkau berumah di atas air, pada suatu masa, di suatu ruang.
Petrus, menurut cerita ibumu kau rajin mengirim surat dan berkabar, meski kuyakin jumlah surat yang diterima, tak sejumlah yang engkau tuliskan. Sudah barang tentu, kerinduan menjadi kisah utamanya, selain perihal kebiasaan-kebiasaan, perihal sayur lodeh, juga masakan paling legendaris buat mahasiswa dan aktivis: mie instan. Suka-duka, tentang harga-harga yang melangit, soal orang kota yang bengis dan yang berhati emas. Lalu tentu saja perihal ideologi orang miskin. Yang pasti ihwal pendirianmu yang tak sudi menjadi orang biasa—lahir, sekolah, hidup mapan, kawin, lalu mati—melainkan kredo harga sebuah hidup serta nilai suatu mati.
“Buat apa jeri pada mati? Kehidupan dan kematian sama-sama penting. Kalau kita sadar suatu saat pasti mati, kita akan menyadari betapa berharganya hidup. Mulialah mereka yang tahu bagaimana menghargai hidupnya,” katamu.[4]
Sepeninggalanmu, sebagaimana diceritakan ibu-bapakmu, orang asing hilir mudik, bergelombang, bergantian mendatangi rumah dan mencarimu. Mereka mematai-matai, meneror, mengacau. Para telik yang lebih kerap kecelik, mungkin bukan atas kemauannya sendiri, menjadikan dirinya busuk seperti taik; menyalahkan dan mempersalahkan.
“Lho kok ibunya sendiri gak tau?” kenang ibumu pada suara bernada tinggi dan meja yang digebrak seorang lelaki.
Kau tahu Petrus, itu sama artinya satu tuduhan, ibumulah yang menanggung segala dosa bawaanmu. Inilah mula operasi menggoyahkan setiap kepercayaan sebelum kemudian melenyapkannya, lalu melupakannya. Tak seorang pun akan memiliki kepercayaan, sebagaimana tak ada suatu kepercayaan terhadap apapun pada siapapun jua.
Dengan pelbagai alibi, arak-arakan teror itu seperti awan gelap yang tumpah ruah di kampungmu; penduduk, tetangga, warga sekitar. Mereka terganggu dan telik-telik intelek taik ini merancang suatu keadaan sehingga para jiran sekitar rumah mulai beranggapan tentangmu orang nggak baik. Engkau penjahat, pembangkang, badung, pengacau, sinting, tak bertuhan—lebih busuk dari setan gundul.
“Mendidik anak itu yang benar!” kalimat biasa yang ditembakkan pada orangtuamu.
Beruntung ayahmu pekerja Rumah Sakit Jiwa. Dia tahu persis mengatur dan menjaga diri. Dia mengerti betul bagaimana menghadapi siapapun yang mengalami gangguan jiwa.
Sampai kemudian suatu saat, selepas magrib, di pertengahan bulan pertama tahun-tahun menjelang sang diktator yang berkuasa untuk kali ketujuh itu tumbang, sebuah bom meledak dari satu kamar rusun di Jakarta. Lalu operasi telik sandi digelar tentara—namanya keren lho; Tim Mawar.
Entah ledakan itu bagian dari operasi telik ataukah salah urus, nyatanya itulah titik temu kekerasan bisa terjadi di mana saja, kapan, dan oleh siapapun jua. Nyatanya titik itu pulalah sebuah dalih bagi tentara memadamkan api manifesto pemberontakan rakyat dengan Buru, Bui, Bunuh dan Buang terhadap yang membangkang. Kelak di suatu masa seorang jenderal mengatakan operasi telik sandi atas perintah Tuan Yang Selalu Tersenyum. Jenderal lainnya, memastikan operasi Buru, Bui, Bunuh dan Buang dilakukan bekas anak buahnya. “Di sinilah saya tahu bagaimana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya, saya tahu betul,” tedas sang jenderal.[5]
Seperti telah tahu takdirnya, sebelum meninggalkan daratan negeri, serta gorong-gorong tempatnya sembunyi, Petrus pamit kepada kawan-kawannya untuk menetap di sebuah rumah di atas air. Tentu saja pesan ditujukan yang masih tersisa, bertahan, terjaga, bertenaga, luput dari operasi penghilangan paksa itu. Petrus juga pamit kepada perempuan yang kepadanya diseduhnya teh untuk menghangatkan tubuhnya, waktu itu, sebelum berpesta.
Dia memberi segepok selebaran, dibungkus rapi memakai koran, kenang gadis itu. Kami siap berpisah. Aku kembali ke habitatku, mengarungi hari-hari penuh akrobat yang jika kukenang, nyaris tak terbayang itu pernah kulewati. Lalu pager Petrus menyalak. “Aku musti jalan. Kamu hati-hati ya..” Petrus menjabat tangan gadis itu. Erat sekali. Rasanya, itu jabat tangan paling erat sepanjang ini. Tanpa kata-kata, anak muda itu saling menyemangati. Bahwa perjuangannya akan menang. Sang Jenderal Yang Suka Tersenyum itu akan tumbang.
Kami berpisah. Betul-betul berpisah. Darat laut dan udara.
Sebagai pemberontak, kalian pasti pembaca Albert Camus. Terlebih kau pengagum filsafat. Karena itu, engkau hapus kamus putus asa dalam hidup seberapapun menderita. Begitulah absurdnya hidup. Tentu kau akui segala kesia-siaan, dan kau jalani hidup sembari melawan kematian. Namun kau juga memilih jalan doa ketimbang terlempar kehilangan harapan. Betapa doamu tak untukmu sendiri, doamu untuk orang banyak yang telah papa. Maka, bohong bila orang menuduhmu tak percaya Tuhan. Itu hanyalah kerja telik sandi untuk menghapus kepercayaan, lalu menggantinya dengan ketakpercayaan yang seakan-akan baginya hidup itu tak absurd—dia yang paling benar, yang kalis, yang sahih.
Justru kau sangat religius, Petrus. Derita, papa, itu bersifat individual. Tetapi dengan pemberontakan, penderitaan dilihat sebagai sesuatu penyelamatan kolektif. Doamu tak atas namamu sendiri. Doamu atas nama para petani rudin, buruh-buruh di gubuk kumuh, rakyat melarat yang tergusur.
“Jadilah kehendak-Mu di atas bumi, untuk memberi makan pada yang lapar untuk memberi minum pada yang haus untuk memberi tumpangan pada para pendatang untuk memberi pakaian pada yang telanjang untuk melawat mereka yang sakit untuk mengunjungi mereka yang ada dalam penjara untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tertimpa ketidakadilan.”[6]
Betapa engkau telah memilih bersetia diri pada kesedihan dan derita hidup sebagai satu-satunya kebenaran dengan menemukan jalan keselamatan: doa dan melawan kematian. Kau telah mengabadikan sesuatu yang mustahil abadi. Hidupmu menjadi abadi. Kau tidak mati Petrus dalam ketiadaanmu, kehilanganmu.
Dan, cerita ini, dongeng ini, yang sulit dipercaya dan memang tak akan dipercaya siapapun adalah bentuk pengagungan sekaligus pengingkaran terhadap keadaanmu—keadaan dan ketiadaanmu, keaslian dan kehilanganmu.
Kini, engkau adalah teks, Petrus. Keaslianmu telah tak ada lagi. Bahkan tak pernah ada. Tersembunyi. Dulu kau menentang bunuh diri, tapi kini kau telah menjadi hantu, bahkan bagi dirimu sendiri.
Barangkali memang benar, cerita ini tak bisa dipercaya lagi, sebagaimana orang telah pelik kembali menyakini Yang Tertinggi, Ilahi; betapa segala sesuatu dibilang senantiasa ditunggangi.
Tak mengapa. Barangkali pula orang terlalu sibuk terlibat obrolan dan teguh pada pendirian; semakin banyak kata-kata, semakin sedikit yang dikatakan.
***
PAGI itu, kabut di danau dengan rumah di atas air itu perlahan-lahan menipis, dan terus menipis. Lelaki tua itu masih berkebun menata bunga padma sembari mengoda kupu-kupu serta ikan-ikan mungil yang terus mendekati dirinya. Sementara perempuan tua istrinya telah kelar mengatur menu masakan pagi, teh hangat, jahe di meja.
Dalam istirahatnya, ia duduk di kursi goyang dari rotan itu. Di raihnya buku cerita. Dibetulkannya kaca mata itu. Lalu perempuan itu mengeja sebuah kisah lama: Kisah tentang hukuman bagi orang yang sombong dan petaka buat anak turunnya…
Dahulu kala ada seorang putri. Namanya Niobe. Dia putri seorang raja yang terhukum, karena menghidangi jamuan para dewa dengan masakan dari daging putranya sendiri. Ya, sang raja telah membunuh putranya sendiri.
Niobe memiliki tujuh pasang putra-putri, dari perkawinannya dengan seorang raja dari Thebes. Semua anak lelaki Niobe tumbuh menjadi orang yang tampan, sedangkan anak perempuan Niobe menjadi wanita yang cantik.
Kesombongan telah berumah dalam diri Niobe, baik terhadap sesama maupun pada dewa. Niobe mendatangi kuil Leto dan menyatakan bahwa sebagai ibu, dia telah melahirkan lebih banyak anak daripada Leto, yang hanya memiliki sepasang putra-putri. Niobe bahkan memerintahkan rakyat Thebes untuk berhenti menyembah Leto. Niobe mengatakan dirinya dan anak-anaknya lebih pantas disembah rakyat daripada Leto.
Mendengar itu, Leto tak tinggal diam. Leto menyuruh sepasang anaknya menghukum Niobe atas penghinaan dan pelecehan yang telah ratu Thebes itu lakukan terhadap mereka. Apollo dan Artemis, sepasang anak Leto itu, membawa busur panah mematikan untuk menghukum ratu jumawa itu.
Anak-anak Niobelah yang harus membayar kesombongan ibu mereka. Mulanya, anak-anak lelaki Niobe dibantai terlebih dulu. Menyusul kemudian, ayahanda mereka mati bunuh diri. Niobe tetap berlaku sombong atas anugerah hidup putri-putrinya yang cantik, yang pada akhirnya kesombongannya yang tanpa batas itu, memaksa Leto membantai lagi putri-putri Niobe. Tak ada ampun, baginya.
Niobe sangat berduka dan bersedih atas kematian semua anak-anaknya. Rasa duka menyelimutinya hingga akhirnya dia diubah menjadi batu, seperti sebuah patung marmer, namun dia tetap meratapi anak-anaknya. Angin puyuh lalu membawa batu itu melintasi lautan menuju tempat kelahirannya. Niobe lalu ditaruh di puncak gunung.
Perempuan tua itu tak mengerti makna cerita yang dibacanya. Ia juga tak mau mengerti artinya. Bertanya pun tidak. Ia memilih membuang pandang keluar jendela. Ia cukup takjub menilik kabut yang hampir sirna. Menjelang kabut itu benar-benar lenyap, perempuan tua itu mendadak terkesiap oleh sergahan kalimat juita hayatnya itu.
“Geno, cepat kemarilah. Cepat!” Dion nyaris menghardik.
Perempuan tua itu mengira Petrus telah pulang. Dugaannya meleset, meski tak berarti keliru.
“Lihat! Lihat kemari!”
Di luar rumah di atas air itu, kedua sejoli yang berumur senja itu merasakan bening di matanya. Keduanya melihat dengan terang, pemandangan yang belum pernah disaksikannya karena kabut yang tak pernah sirna. Di hadapannya, di sekelilingnya, rumah-rumah yang sama dihuninya; mengapung di air—rumah dari anggota keluarga yang dihilangkan, dilenyapkan, disembunyikan, dibunuh.
Jumlahnya banyak. Ratusan. Ribuan. Mungkin juga jutaan.
Belum berhenti dari takjub bercampur gembira, sejoli yang senja itu mendapati sosok Petrus terlihat di kejauhan sedang berhibuk menjala.
Mataku yang menceritakan kembali kisah ini, hingga di penghujung kata, masih lindap, belum bening dari kabut.
Entah Petrus sedang menjala ikan ataukah manusia.[]
Ngimbang, 22 Maret 2021
Teruntuk kawan Petrus Bima Anugerah
dan keluarga yang ditinggalkan.
Catatan:
[1] Tradisi Nasrani, misalnya, Injil Matius memuat cerita Petrus berjalan di atas air ketika melihat Yesus. Karena takut, ia tenggelam lalu ditolong Yesus. (Matius 14:22-32). Cerita serupa bisa dilihat di Kisah-Kisah Sufi (Pustaka Firdaus, 1984) karangan Idries Shah. Cerpen Seno Gumira Ajidarma Dodolitdodolitdodolibret dalam Senja dan Cinta yang Berdarah, Kompas (2014) Hal. 750-757 juga mengisahkan para darwis berlarian di atas air.
[2] Moromo Romo Ono Maling lagu ciptaan Titiek Puspa dan dipopulerkan pertama kali oleh Mus Mulyadi. Bang Bang Tut awalnya lagu dolanan Jawa. Umumnya lagu dolanan; anonim. Tahun 1990-an grup band Slank mengaransemennya dalam versi yang lain.
[3] Saya nukil dari lirik ciptaan Petrus Bimo Anugerah Mana Bukuku Mana Guruku. Aransemen lagunya dikerjakan band Lontar dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Bimo sendiri salah satu personilnya.
[4] Adaptasi dari salah satu paragraf surat Bimo buat Ibunya di Malang. Surat ditulis di Jakarta, 29 September 1997 dan dilanjutkan 5 November 1997. Sumber https://kumparan.com/winuranto-adhi/bima-sayang-ibu/full
[5] Dari rekaman video pengakuan Jenderal (purn) Agum Gumelar. Agum adalah mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP)yang menangani perkara pelanggaran HAM berat Letjen TNI Probowo Subianto. Meski pernyataan Agum debatable, oleh banyak kalangan dianggap fitnah, atau pernyataan musiman menjelang pemilu, saya beranggapan selaku mantan Danjen Kopassus yang terlibat menangani perkara, pernyataannya penting.
[6] Paragraf ini saya nukil dari tulisan panjang Doa Bapa Kami (dimodifikasi oleh Bimo Petrus Anugerah) bersumber dari sebuah blog https://aknavoj.wordpress.com/. Saya sudah cek ke salah satu sahabat Bimo, Dandik Katjasungkana dan yang bersangkutan membenarkan tulisan tersebut adalah karya Bimo.
S. Jai lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel—diantaranya, Tanah Api (LKiS 2005); Tanha—Kekasih yang Terlupa (Jogja Media Utama 2011); Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012, Diva Press); Kumara (DK Jatim, 2013). GURAH (Pagan Press 2015) dan yang terbaru Ngrong (Pagan Press, 2019). Pemenang Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jatim (2010), Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012), Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Kini tinggal di dusun Tanjungwetan, Kec. Ngimbang, Lamongan. Telp 081-335-682-158