Koala Pemakan Segala
Cerpen Fatah Anshori
SUDAH hampir satu bulan kau bekerja di kamar operasi. Kau sudah melihat banyak hal tentang isi tubuh manusia. Sesuatu yang berada di balik kulit.
Sebelumnya kau hanya melihat dari buku biologi bagaimana rupa usus besar, usus halus, lambung, hati dan semuanya hanya sekilas saja digambarkan dengan ilustrasi dua dimensi. Tak ada yang membekas.
Setelah kau bekerja di kamar operasi rumah sakit swasta di kota, segalanya tampak berubah. Segalanya tampak nyata dan ilustrasi-ilustrasi dua dimensi itu kini dapat kau pegang bentuk dan teksturnya dengan kedua tanganmu.
Tepat pukul 01.43 dini hari, televisi yang kaunyalakan tanpa kehendak apapun, mendadak memutar film horror tanah air. Efek suara mistis mulai terdengar menyelimuti ruang tamumu yang berantakan, dipenuhi beberapa bungkus plastik yang membungkus bungkus-bungkus kosong snack di dalammya. Berserakan di dekat kaki meja dan kursi. Kau masih belum sempat membuangnya, mengingat jam kerjamu yang semakin padat. Beberapa botol air mineral juga berserakan di sana. Kau sempat berpikir untuk memasukkannya ke dalam karung dan jika sudah penuh kau bisa menjualnya ke pengepul sampah atau tukang rongsok yang tiap pagi kerap melintas di depan rumah kontrakanmu. Tapi semuanya hanya angan-angan. Kau tak bisa merawat angan-anganmu. Jam kerja di kamar operasi seolah menyeretmu dari perkara-perkara receh yang selalu ingin kau kerjakan.
Kau menarik napas dalam-dalam, sambil memasukkan mie instan yang baru saja kau rebus ke dalam mulutmu.
Beberapa saat yang lalu kakimu mendadak ingin berjalan ke luar kamar menuju dapur. Tanganmu menekan saklar di dinding, lampu dapur menyala. Mendadak kau teringat pasien laparotomy setelah melihat dapurmu yang berantakan. Ada tumpukan mangkuk yang belum dicuci bekas makanan mulai menghijau di dalamnya, ditambah gelas-gelas yang menyisakan ampas kopi dan beberapa piring juga berserakan di lantai.
Kau hanya mendapati sebungkus mie instan di laci makanan, lalu merebusnya sambil mengingat isi perut si pasien. Satu setengah meter usus besarnya membusuk berwarna hitam, kau tidak peduli berapa lama si pasien menahan rasa sakitnya selama proses pembusukan, aroma kotoran manusia memenuhi ruang operasi. Seorang dokter bedah yang berada di sampingmu terbatuk, sesekali memaki, dan beberapa perawat yang berada di sekitarmu tertawa. Tapi kau tidak tahu di mana letak lucunya. Itu hanya aroma tahi dan usus duo denum yang membusuk. Tak ada gerakan peristaltik. Nekrosis jaringan.
Orang-orang tertawa dan kau hanya melihat mereka tertawa.
Kau kembali melihat televisi yang memutar film horror tanah air dengan kadar horror yang menyedihkan, setan atau hantu-hantu itu tampak seperti sampah yang menjejali kota. Tak akan bisa membuatmu ketakutan, setan dengan wajah gosong berlumuran darah yang mengering malah membuatmu ingin tertawa dan meludahi produser pembuat film itu. Hanya sebatas itu imajinasi horror di kepala mereka. Film-film semacam itu hanya bisa menakuti bocah-bocah SD yang keracunan cerita-cerita setan orang tuanya. Kau kembali tidak bersemangat. Mulutmu tampak malas mengunyah mie instan. Kau berpikir wajahmu sedang mirip koala yang mengunyah daun-daun bambu, mengunyah batang-batang bambu, mengunyah anak-anak nakal, mengunyah mobil-mobil yang menyesaki jalan raya kota, mengunyah gedung-gedung tinggi pencakar langit yang membuat sempit kota, dan terakhir mengunyah matahari yang menyilaukan mata.
Kau mendadak ingat tentang pertemuanmu dengan Koala pemakan segala itu. Di sebuah bukit di gurun Gobi, Koala itu mengajakmu berjabat tangan. Suatu perkara yang ganjil, kau merasa geli. Tapi kau menjabat tangannya.
“Kau bisa memanggilku Sumanto.”
Setelah berjabatan tangan denganmu ia tiba-tiba berdiri di depanmu dengan kedua tangan berada di atas bokongnya serupa posisi istirahat di tempat. Tapi ia berjalan saja menuruni bukit. Dan kau tidak tahu kenapa kau mengikutinya. Melihat Koala itu berjalan di depanmu, kau teringat seorang gurumu yang sudah tua, beraroma balsem, minyak tawon, atau minyak urut lain yang kau sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu mereknya. “Aku tahu kau pasti geli dengan nama dan sikapku.”
Saat itu kau hanya diam saja memandangi Koala itu, dan agak bingung dengan kondisi alam di sana. Di atas kepalamu langit tampaknya memajang tiga buah matahari dengan ukuran yang berbeda. Tapi kau tak merasakan panas sedikitpun. Sementara itu di depanmu Koala itu masih berjalan, kau berpikir ia tak akan mampu berjalan lama. Setelah menemui pohon ia akan segera tertidur di dahan pohon. Begitu pikirmu.
“Apa kau tahu kegunaan tidur?” Ia mendadak bertanya padamu, tentu saja kau curiga ia bisa membaca pikiranmu.
“Tentu saja untuk istirahat.” Jawabmu agak ketus.
Lalu sesaat kemudian kau mendengar suara tawa. Kau melihat sekitar, tak ada satupun manusia yang kau jumpai selain dirimu sendiri. Dan Koala itu adalah hewan, sejauh yang kau tahu hewan tak bisa tertawa. Adakah selera humor untuk hewan? Atau dirimu yang selama ini telah menjadi hewan. Sudah berapa lama kau tidak tertawa? Apa kau sudah lama kehilangan selera humor, atau selera humor orang-orang di sekitarmu yang kian hari kian receh. Tapi suara tawa itu harus kau akui memang berasal dari mulut Koala.
Televisi di depanmu sedang menampilkan seorang tokoh yang berjalan pelan-pelan menyusuri lorong-lorong rumah yang suram, remang-remang. Ditambah efek suara langkah kaki si tokoh juga suara engsel pintu karatan, yang dipertajam. Barangkali agar membuat penonton segera memiliki penyakit jantung, atau yang sudah punya sakit jantung biar copot sekalian. Tapi menurutmu itu hanya adegan klise yang selalu diulang-ulang oleh film horror tanah air. Mungkin sewaktu kecil kau pernah ketakutan dengan adegan receh semacam itu. Tapi kali ini adegan semacam itu malah membuat isi perutmu terasa mual. Dan mie instan yang berada di hadapanmu semakin mengembang, mungkin jika kau biarkan satu atau dua jam lagi mie instan yang berada di mangkuk itu akan terus mengembang dan mengembang, keluar dari mangkuk itu.
Terus mengembang, sebesar jejunum, sebesar duo denum pasien laparatomy pagi tadi. Dan beberapa saat kemudian keluar keringat dingin dari telapak tangan dan punggungmu. Lalu kau melihat mie instan itu terus mengembang memenuhi ruang tengah rumah, menelan foto-foto pemilik rumah yang menempel di dinding, menelan kursi, televisi yang memutar film horror tanah air, kipas angin di belakangmu, benda rongsokan yang berada di pojok ruang, baju-baju kotor yang berserakan di sofa, juga sofa itu sendiri. Kau merasa telah mengalami gejala takipnea. Dan suhu tubuhmu mendadak meningkat. Mungkin jika kau sedang memegang termometer dan menembakkan ke jidatmu, di layarnya akan menampakkan angka 40°C sementara itu kau melihat dinding-dinding rumahmu telah menjadi semacam mukosa. Kau kerap melihat benda itu ketika sedang membedel perut pasien-pasien dengan masalah isi perut.
“Apa kau yakin tidur hanya untuk istirahat?” Dari mana ia datang, apa segala sesuatu itu datang karena kau membayangkannya. Tentu saja tidak. Si Panda saja tidak pernah datang meski kau sering memikirkannya. Iya kau hanya memikirkannya bukan membayangkannya. Ah, apa bedanya membayangkan dengan memikirkan bukankah keduanya dilakukan di dalam kepala?
“Kau datang lagi Koala?”
“Manusia memang ciptaan yang sering lupa.”
“Maksudmu?” tanyamu sedikit geram.
Koala itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari dadanya, dari bulu-bulu halus lebat itu seolah di sana ada sebuah saku. Kemudian ia meletakkan di atas meja, tak jauh dari mangkuk mie instanmu yang kini telah kosong. Kau bisa membacanya.
“Maaf Sumanto. Namamu ternyata lebih menakutkan dari seluruh film horror tanah air, apa kau seorang kanibal, oh maksudku seekor, ah aku minta maaf jika kurang tepat.”
Kau hanya duduk sambil memandangi Sumanto Koala itu mondar-mandir di ruang tengah rumahmu yang kini bentuknya semakin aneh, kau yakin betul sekarang sedang berada di dalam perut, di dalam lambung atau di dalam usus. Dinding dan lantai yang kau injak telah sempurna serupa mukosa. Lembek dan kenyal, juga kemerah-merahmudaan. Tapi Sumanto atau Koala itu tampak tidak mempermasalahkan isi rumahmu. Kau merasa ada yang aneh tapi kau tidak mengerti, di mana letak anehnya. Sama seperti di mana letak kebencian atau kenikmatan memasuki lubang kelamin mantan pacarmu yang telah didahului teman akrabmu.
Sumanto Koala itu, apakah berbeda dengan Sumanto Manusia yang pernah kau dengar desas-desusnya di berbagai media. Ia doyan makan daging mayat manusia. Mengingat atau membayangkan bagaimana Sumanto Manusia mengganyang daging manusia entah kenapa membuatmu yang sekarang biasa saja. Tidak ada ketakutan atau rasa ingin muntah. Kau kembali membayangkan daging segar manusia yang hampir setiap hari kau lihat di kamar operasi. Daging-daging yang masih segar atau daging-daging yang menghitam, nekrosis jaringan. Kau membayangkan bagaimana jika daging-daging yang menghitam itu dimakan ulang oleh Sumanto, mungkin itu sepuluh kali lebih baik ketimbang daging mayat yang telah berhari-hari bahkan berbulan-bulan membusuk dan bau tanah.
“Tidak apa-apa, manusia memang selalu begitu sering salah dan berdalih bahwa itu khilaf,” Sumanto itu kini sedang menempel di dinding-dinding rumahmu yang telah jadi lembek. Ia melihat-lihat sebuah pigura berisi fotomu dengan dua orang, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. “Kau kenal dua orang ini?”
Kau mengangguk pelan. Tidak mungkin kau melupakan dua orang di dalam foto itu selain dirimu. Kau pernah berkunjung ke Pantai Kutang bersama pacar dan teman baikmu itu. Pacarmu itu bernama Panda dan teman baikmu itu, yang kau kenal sejak kecil bernama Miguel. Entah kenapa waktu itu kau tidak terlalu memikirkan, atau tidak terlalu mencurigai keduanya. Saat itu kau izin pada Panda dan Miguel untuk pergi sebentar, keduanya mengangguk sambil berkata jangan lama-lama. Tentu saja tidak akan lama, jawabmu dalam hati toh kau hanya ingin membeli sesuatu.
Siang itu memang terasa gerah, bibirmu terasa pecah-pecah dan sedikit perih, tenggorokanmu juga terasa pahit. Maka kau memutuskan untuk pergi ke suatu kedai kecil yang menggantung di antara pohon-pohon mangrove sebesar tiang listrik di sebelah timur. Sebuah kedai yang nyaman terbuat dari kayu dan untuk mencapainya kau harus melewati jembatan gantung yang dijalin dengan bilah-bilah kayu. Kau memesan tiga es kelapa muda dan beberapa snack untuk camilan. Penjual itu mencatat pesananmu di secarik kertas dan berjanji akan mengantarkan pesananmu. Kemudian kau segera kembali, dan mendapati keduanya sedang asyik bermain air di bibir pantai. Dan entah kenapa kau merasa tidak suka, seperti ada yang sakit di dadamu. Tapi hanya samar-samar. Kau tidak tahu pasti apa itu.
“Dari mana saja kau, Don?” Tanya Miguel sambil tersenyum bahagia. Panda juga tampak bahagia. Kau tentu saja berpikir bahwa mereka berdua baru saja bersenang-senang.
“Ayo kita foto bertiga!” Ajak Panda yang sepertinya masih dalam keadaan senang-senangnya.
Dan beberapa hari setelah kau mencetak foto kalian bertiga dan memasangnya di sebuah pigura berukuran 6R, kau bertemu dengan Miguel di sebuah warung kopi Giras di dekat Rumah Sakit tempat kau bekerja. Dan kebetulan kau tidak sengaja melihat wallpaper di smartphone Miguel sedang menampilkan foto Panda sedang memeluk Miguel dari belakang. Saat itu kau ingin marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Kau merasa hari-harimu semakin kosong dan hanya ada lorong gelap yang tak berujung dan kau hanya bisa berjalan tanpa pernah bisa berhenti atau berbalik arah. Kau terus berjalan, berjalan dan berjalan hingga kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang nyata dan tidak nyata.
Smartphonemu di sebelah mangkuk tiba-tiba berdering, itu adalah panggilan Panda yang ke seratus tujuh belas kali yang kau biarkan saja, sejak sebulan terakhir.
“Apa ini boleh kumakan?” Sumanto menunjuk pigura berisi fotomu Panda dan Miguel. Dan kau kembali menyimak film horror tanah air yang semakin membuat perutmu mual, setan-setan yang mereka buat tidak lebih buruk dari gelandangan di pinggir jalan, dan pengalaman tidak menyenangkan.
Kau mengangguk, membiarkan Sumanto mengganyang foto beserta piguranya.[]
—April 2021
FATAH ANSHORI, lahir di Lamongan, bukunya yang telah terbit Ilalang di Kemarau Panjang (2015), Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Russa, 2020). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, juga Majalah Suluk (DK Jatim), Terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra dan Songgolangit Creative Space. Instagram: @fatahanshori; Facebook: Fatah Anshori
Catatan Redaksi
Kesadaran tidaklah sesederhana menyadari diri antara seseorang dengan sesuatu di luar dirinya—benda, dan atau orang lain, makhluk lain. Kesadaran bisa jauh lebih pelik dari sekadar menyadari diri tubuhnya, dan jiwanya sendiri.
Daya pikat Cerpen Fatah Anshori Koala Pemakan Segala, adalah ihwal kesadaran diri, retakan-retakannya, menyadari dirinya sendiri, bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri. Di dalam aku ada kau, dan hal-hal lain yang tak sesederhana hubungan aku dan kau.
Tampaknya dalam keutuhan diri, namun sebetulnya terpecah-pecah, berserakan. Ada kebinatangan, kebengisan, pengkhianatan, dendam, keserakahan yang kesemuanya tampaknya berumah menjadi satu dalam diri, namun sesungguhnya kesadaran semua itu tumbuh, berbiak secara acak, semrawut, kacau.
Sebuah cerpen yang mengedepankan pada ‘menyadari akan sesuatu’ sekaligus mengingkarinya, mempersoalkan, mengherankan kenyataannya, dan yang pasti mempertanyakannya. Maka, cerpen Fatah sekaligus adalah sebentuk retakan-retakan berbagai realitas—fiksi, nyata, imajiner, realitas konstruksi manusia. Fatah, merapikan berbagai realitas itu ke dalam suatu kesadaran bahwa di dalam kerumitan diri, di luar bertebaran lapis-lapis kenyataan. Artinya Fatah bekerja membuatnya ada dari yang semula sesungguhnya tak ada. Inilah energi kreativitas, manusia yang dalam bahasa kesadaran Sartre suatu yang diletakkan pada posisi tengah antara ‘being’ dan ‘nothingness.’
Cerpen Fatah menyoal sosok manusia yang gagal merawat angan-angan, yang kehilangan selera humor, yang menemukan diri sebagai seekor koala berangasan. Juga pelbagai sirkulasi aliran kata dan kalimat dari dunia gelap menuju celah-celah, retakan kesadaran. Televisi sebagai salah satu realitas bisa menampilkan seorang tokoh yang berjalan pelan-pelan menyusuri lorong-lorong rumah yang suram, remang-remang. Rasa sakit yang tak tercerahkan akibat sang kekasih berkhianat saat bercinta dengan seorang sahabat.
Sebuah cerpen yang, boleh jadi refleksi di hadapan makna hidup sehari-hari, bahwa hidup tak cuma untuk dimengerti, tetapi banyak hal yang tak semua bisa dimengerti, tetapi benar-benar terjadi dalam keseharian hidup.
Fatah menggambarkan hal itu dengan Sumanto (si yang dikenal pemakan daging mayat) mengganyang foto beserta piguranya—berikut kenangan pahit di dalamnya. (S. Jai)
Alhamdulillah luar biasa mas Fatah terus berkarya ( gurumu ingin berkarya sepertimu)