Berpacu dalam Kritik

Catatan Geliat Candrakirana 170 Kostela

MENULIS KRITIK, yang selama ini dianggap momok bagi para pesastra, malam itu disepakati tak mesti dihindari. Bahkan wajib digeluti dan ditekuni sebagaimana para penulis sastra membuat karya puisi, cerpen, novel dan drama.

Yang dibutuhkan adalah kepercayaan diri untuk “umuk” disamping kesungguhan menulis karya. Karya, teori, serta kritik ibarat lingkaran persepsi yang saling mengutuhkan dan melengkapi keteguhan penulis dalam menulis sastra.

Sastrawan A. Syauqi Sumbawi, misalnya, menyarankan pentingnya memecahkan hambatan kebosanan dan kekakuan bentuk tulisan kritik. Peraih penghargaan Sotasoma 2021 dari Balai Bahasa Jawa Timur atas buku kritik sastranya Tuhan dan Manusia Abdun  ini mengatakan, hendaknya kritik sastra berstyle nonformatif. Tujuannya, agar bisa memberi kebebasan dan keleluasaan pengkritik untuk mengeksplorasi ide serta penafsiran terhadap karya sastra.

“Kritik dilakukan dengan perspektif analisis konten. Hal ini akan membuka peluang lahirnya disiplin ilmu yang baru dalam kancah kesusastraan. Lebih-lebih agar kritik kesannya tidaklah kaku. Dengan demikian kritik tak sekadar berbicara perihal makna, melainkan banyak hal bisa digali. Semisal pada puisi ada diksi, musikalisasi atau rima, dan tipografi. Lebih dari itu, analisis konten akan menarik minat kita itu mengulik berbagai wacana di sebaliknya,” terang penulis berbagai buku; Dunia Kecil panggung dan omong kosong, 9, Waktu di Pesisir Utara, Lima Puluh itu.

Demikian panji-panji yang terungkap dalam pertemuan rutin Candrakirana ke 170, Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), Sabtu 23 November 2021 lalu, di Warung Dawuk, jalan Airlangga Sukodadi Lamongan. Kegiatan tiap malam purnama kali ini merupakan perhelatan pertama setelah tertunda hampir 20 bulan masa pandemi. Kegiatan malam tersebut seolah menjadi rintik hujan di tengah kemarau panjang. Pengobat rindu dahaga bagi para sastrawan Lamongan untuk bersua-silaturrahmi menuangkan pikiran dan perasaan yang membuncah-ruah akan karya sastra.

Sebagaimana yang telah dicanangkan sejak sebelum pandemi, Candrakirana ke 170 mengulas karya puisi Alfin Gondoruso oleh Heri Listianto dan karya puisi Subhan Muhammad oleh Atafras.  Atafras berhalangan hadir oleh suatu sebab, meski telah mengirimkan makalah Religiusitas, Cinta, dan Aspek Sosial Puisi-puisi  “Perenungan” Subhan Muhammad  (Sebuah Ulasan Nilai-Nilai dalam Karya Sastra) . Sedangkan Heri Listianto membicarakan puisi-puisi Alfin Gondoruso pada ranah citraan dan aspek makna. Kebingungan  dan  Hilang  Kesadaran;  Citra  dan Makna  dalam  4  Puisi  Karya  Alfin  Nur  Cahyo (Gondoruso Roda Sempal).

Malam itu menjadi tampak spesial. Bagaimana tidak, selain dihadiri oleh para penulis dan penyair generasi lama, seperti Hery Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling, Sutardi Cempit, Alang Khoiruddin, Rodli TL, dan Subhan Muhammad, dihadiri pula oleh dua penulis peraih penghargaan Sutasoma; S. Jai dan A. Sauqi Sumbawi. Ada juga penulis muda berpotensi; Fatah Anshori, Djenar Khuzaini, Heri Listianto, Farid Yahya, Alfin Gondoruso, Sazma Al Kautsar, Ahmad Shodiq, dan lain-lain.

Prinsip Kebebasan Kreatif

Sementara itu pandangan Dr. Rodli TL, yang juga dosen Unisda Lamonga, ia menilai bahwa penyajian kritik tergantung pada konteksnya, serta pentingnya memberi kebebasan kreatif penulisnya. Menurutnya, tak perlu dibatasi atau diharuskan bahwa kritik selalu berbentuk esai-esai, artikel majalah atau koran. Apabila konteksnya dalam ranah akademisi, lanjut Rodli, kritik yang bersifat formatif justru merupakan kritik yang enak untuk diimplementasikan, walaupun merupakan bentuk kritik yang tidak sederhana.

“Bagi yang terbiasa membaca tulisan akademis, kritik yang demikian justru mampu mempermudah pemahaman pembaca dan pembelajar yang berusaha memahami sekaligus mempelajari kandungan karya sastra,” terangnya.

Boleh jadi Rodli, mengamini pernyataan sebelumnya dari Dr. Sutardi, juga dosen Unisda Lamongan. Katanya, justru kritik dengan metode-metode ilmiah yang menjadi syarat tulisan-tulisan akademis adalah bentuk tulisan yang sudah matang dan standar. Setidaknya, boleh dikata paling mutakhir, oleh karena para penulis kritik musti bekerja keras mengungkap tulisan-tulisan atau materi terkini di jurnal-jurnal ilmiah sebelum seorang kritikus bekerja. Daya kritis, kreativitas, kebaruan, kebebasannya mulanya diuji dari sana.

“Tapi jangan salah, kritik-kritik sastra yang ditulis dalam esai-esai, tak berarti tidak ilmiah. Para penulis kritik yang demikian juga pembaca buku yang baik, teori, metode, wawasan. Kritikus yang kering membaca tak akan bisa menulis sekalipun dalam bentuk esai,” paparnya.

Pada kesempatan itu, penyair Herry Lamongan menebarkan untaian kata penting sebagaimana bagi layaknya seorang penulis yang militan. Katanya, penulis harus ‘umuk’ akan tetapi sembodo. Bukan ‘umuk’ yang kebablasan. Meski agak sulit makna ‘umuk’ diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namun kurang lebih bisa dimengerti sebagai ‘kepercayaan diri.’  Herry juga mengingatkan pada setiap yang hendak menekuni sebagai penulis yang serius, untuk meneguhkan brand dirinya.

“Salah satu caranya yang ampuh, ya menulislah terus secara bebas di media manapun, apapun, dan kapanpun. Terus menerus, karena dengan begitu selain bersaing, itulah cara-cara tulisan kita bisa dibaca, dan dikenal oleh pembaca karya kita,” tedas penulis buku puisi Surat Hening, tersebut.

Lebih dari itu, penulis muda Fatah Anshori menceritakan pengalaman membacanya sebagai modal kepenulisannya. Dengan membaca karya-karya sastra bermutu, dirinya merasa terbuka wawasannya bagaimana memaknai, memahami, dan menafsirkan karya yang semua itu bermula dari menikmati bacaan yang diminatinya. Tak pernah dirinya dalam membaca setiap karya sastra untuk mengerti, menafsirkan, memaknai secara berlebih. Pertama-tama baginya, adalah bagaimana ada kenikmatan setiap yang dibacanya.

“Kadang saya bertanya, apakah pengalaman sublimasi itu masing-masing orang berbeda? Namun dengan membaca, lambat laun kenikmatan itu bagi saya bertambah. Dulu saya tak mengerti karya-karya Acep Zamzam Noor, Mashuri, Afrizal Malna. Entah kenapa, pada akhirnya saya suka. Saya bisa menikmatinya,” katanya.

Fatah menyukai karya Berlin Proposal, Afrizal Malna yang berdasarkan kritik dinyatakan telah memberikan wacana dan wajah baru perpuisian Indonesia mutakhir. Penyajiannya menggunakan tampilan wajah unik, dengan detail dan cermat menampilkan tipografi grafis yang bahkan penataannya konon dengan aplikasi digital secara khusus, penggunaan simbol-simbol tertentu yang disusun sebagai puisi. Hal seperti inilah yang kemudian menjadikan Fatah Anshori semakin tertarik dengan dunia perpuisian yang kian hari bertambah berkembang dalam varian-varian yang baru.

Pengetahuan Estetika dan Cara Baca

Pertanyaan dan pernyataan peserta terus bergulir menyoal kritik.

Menjawab pertanyaan peserta terkait apakah menulis kritik bisa dilakukan dengan mengedepankan perasaan, terlebih bagi yang tak memahami teori atau kritik sastra, S. Jai mengungkapkan hal itu terkait dua permasalahan. Yang pertama tentang kesatuan pengetahuan antara karya, teori, dan kritik. Sedang yang kedua, berhubungan dengan pengetahuan estetika, serta cara baca, penafsiran.

Masalah yang pertama; karya, teori dan kritik mesti dimengerti sebagai persepsi secara utuh. Artinya, meski tidak ada masing-masing sebagai persepsi yang paling benar. Justru karena itu, mesti disadari pentingnya memahami ketiganya, sebagai semacam lingkaran setan, saling berpengaruh. “Karya mempengaruhi teori, teori penting bagi kritik, kritik bisa jadi dasar suatu karya, karya sumber kreativitas kritik, dan seterusnya. Jadi sadar maupun tak sadar, musti disadari kesadaran semacam ini. Mengabaikan yang lain hanya menyebabkan kepincangan,” ungkap penulis novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih itu.

Pada titik ini, lanjut S. Jai sebetulnya menulis karya sastra dan kritik sastra sebetulnya sama. Dalam arti, bahwa mensyaratkan akan pengetahuan estetika dan menulis sebagai suatu praktik cara baca.

“Jelas dua hal ini, pengetahuan estetika juga suatu praktik cara baca, bukan semata-mata suatu yang mengedepankan perasaan. Keduanya, ilmiah. Tepatnya keilmiahan yang tentu saja termasuk di dalamnya mempertimbangkan perasaan,” tandas S. Jai.

Lebih lanjut, dalam catatannya, S. Jai menerangkan, bagi penulis kritik masalah estetika sebagai suatu filsafat kesenian harus dipelajari. Utamanya, bagi kritikus mesti mengetengahkan nilai estetis suatu karya; perihal keindahannya serta sublimasinya—kejutannya, kengeriannya, kebesarannya. Masalah estetika lainnya yakni menyingkap pengalaman estetis baik dalam penjelasan intelektual maupun persepsi-persepsi lain dari penafsir. “Yang tak kalah penting, menguji karya yang dikritik, baik secara objektif maupun menimbang hubungannya dengan suatu masyarakat tempat karya itu hidup,” katanya.

Lalu, perihal kritik sebagai suatu cara baca, penafsiran alias hermeneutik, ada sejumlah ‘metode’ yang bisa diterapkan. Diantaranya; kritik sebagai cara baca atas kontek kehidupan penulis karya, membayangkan subjektivitas penulis; lalu membaca struktur simbol teks karya dalam konteks historis yang lebih luas; membaca teks karya sebagai kemungkinan-kemungkinan eksistensial; Teks sastra sebagai sumber resepsi pembaca atau sebagai sumber pengetahuan lain; juga prespektif pembacaan terus menerus tanpa makna final—ini yang kerap disebut dekonstruksi, lalu pembacaan kritis atas ideologi semu yang dominan, dan yang cukup populer adalah pembacaan memahami teks bukan sekadar menarsirkan melainkan merefleksikan dalam hubungannya dengan makna hidup.

Pendeknya secara umum, ada tiga cara memahami teks; merekonstruksi makna teks, mengkonstruksinya atau mendekonstruksi maknanya.

“Beberapa hal yang saya sampaikan ini kiranya adalah kata-kata kunci bagi seorang penulis kritik, sebagai pembaca kritis, untuk menikmati, memahami, menafsirkan, memaknai suatu karya di hadapannya, baik untuk dirinya sendiri maupun calon pembaca lebih luas,” demikian S. Jai, penulis buku kritik Postmitos, yang meraih penghargaan Sotasoma (2019) mengakhiri penjelasannya.

Diskusi berlangsung jenak hingga dini hari. Ditemani bercangkir-cangkir kopi dan beberapa piring gorengan, pembicaraan masalah sastra masih bergairah dan diharapkan melacutkan gelora peserta untuk menulis karya.

Seperti diketahui, Candrakirana merupakan suatu aktivitas rutin yang dilakukan oleh Kostela sejak puluhan tahun silam. Kegiatan ini berisi kegiatan ngaji sastra dan teater yang diawali dengan pembacaan karya oleh para peserta yang hadir, diskusi sekaligus mengulas karya sastra peserta terpilih, hingga obrolan sastra nasional.

Menurut Alang Khoirudin, salah seorang pegiat senior di Kostela, kegiatan Candrakirana sebagai bentuk konsistensi Kostela dalam membangun budaya bersastra. Candrakirana adalah salah satu penanda eksistensi Kostela dalam kancah kesusastraan Indonesia. Ia berharap melalui Kostela, Indonesia mampu ditarik ke Lamongan sehingga Lamongan meng-Indonesia. (Imamudin SA/S. Jai)

Berpacu dalam Kritik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Tabik, sudah menghubungi kami. Silakan chat lebih lanjut